Kamis, 29 September 2011

AMERIKA SERIKAT DAN PERANG


Willy Aditya & Arfi Bambani Amri

Sejarah politik Amerika Serikat (AS), terjalin kerjasama erat antara pemerintah, pemodal-pemodal, dan tentara. Kekerasan bersenjata, agresi, dan penindasan merupakan sejarah awal pembentukan AS, bukannya demokrasi. Seringkali pemerintahan federal melakukan kekerasan bersenjata untuk mengamankan kepentingan negara. Sebagai contoh, dalam film “Gangs of New York” , yang berlatar abad 19, secara telanjang melihatkan sebuah latar sejarah kekerasan bersenjata pemerintahan AS terhadap rakyat sipil yang melakukan pembangkangan. Dalam film ini terlihat kekacauan masyarakat AS abad 19, di mana masyarakat dikendalikan oleh kekuasaan ekonomi (kapitalis) dan senjata. Negara tidak berarti apa-apa tanpa uang dan tentara. Lalu film ini diakhiri dengan agresi bersenjata tentara federal (pusat) dan melucuti kekuasaan semua “gang” yang berkuasa di New York. Pemerintah dengan tentara dan didanai oleh pemodal-pemodal mulai membangun New York.

John McMurtry, Professor Filsafat di Universitas Guelph, Kanada, menandaskan bahwa tradisi politik AS adalah dimulai dari menghancurkan kehidupan dan budaya. Dimulai dari pemusnahan 25 juta rakyat asli Amerika (Indian) dalam waktu seabad. Sejarahnya berlanjut dengan perebutan Texas tahun 1845 dari petani-petani Meksiko dan orang-orang asli. Kemudian menyusul Nevada, New Mexico, Arizona, California dan banyak negara bagian lainnya segera setelah tahun 1849. Kemudian, Jendral Zachary Taylor yang memimpin invasi itu mendapat penghargaan dari gedung putih sebagai pahlawan perang. Dan kemudian baru dibuka di kemudian hari oleh Abraham Lincoln bahwa perang tersebut bertujuan untuk memperluas “pasar” karena AS mulai menerapkan pasar bebas ala Inggris. Namun itu tidak cukup. Tahun 1898, di bawah doktrin pertahanan diri (seperti sering diulang Bush dalam pernyataannya mengenai agresi terhadap Irak), Filipina, Guam, sebagian Kuba, dan Puerto Riko direbut dari rakyatnya dengan provokasi perang. Perang yang melakukan agresi dan okupasi. Dan sekarang, di awal abad 21, AS sekali lagi meneruskan tradisi politik fasis-nya dengan melakukan agresi dan okupasi (walau lebih halus) terhadap Afghanistan dan Irak.

Pasca peristiwa pemboman WTC pada tanggal 11 September 2001, telah dibuat cek kosong oleh Kongres AS yang berisikan kewenangan pemerintah AS untuk menyerang dan bahkan menguasai dunia ketiga. Dick Cheney, Donald Rumsfeld, Paul Wolfowitz, dan lainnya, membuat blueprint (cetak biru) politik luar negeri yang ditulis pada bulan September 2001, yakni “Proyek untuk Abad Baru Amerika” yang jelas merencanakan untuk menentukan tatanan keamanan dunia dalam rangka kepentingan-kepentingan dan asas-asas Amerika. Ini berarti terbuka kemungkinan bagi Gedung Putih untuk melakukan tiondakan militer dan intelijen terhadap negara-negara yang disinyalir akan membahayakan posisi ekonomi dan politik AS. Sehingga di era pemerintahan partai republik (yang suka perang) ini, tradisi politik AS akan dihidupkan kembali: perang!


Krisis Kapitalisme AS

Seperti halnya motif Perang Sipil dan Perang Dunia, pada kali inipun, motif agresi AS terhadap Irak merupakan motif yang ekonomistik. Ada beberapa hal ekonomis yang mendorong agresi AS kali ini. Pertama, penurunan ekonomi AS terus terjadi, sejak peristiwa 11 September, menyusul skandal akuntansi Enron & World.com, pemogokan buruh-buruh kapal di pelabuhan-pelabuhan pesisir Pasifik selama berminggu-minggu, dan terakhir menurunnya kemampuan ekonomi AS karena munculnya blok-blok dagang baru yang kuat seperti Uni Eropa dan Cina. Kedua, minyak Irak merupakan minyak dengan kualitas terbaik di dunia namun tidak bisa dieksplorasi oleh perusahaan-perusahaan AS karena Irak lebih memilih untuk menjalin kerjasama dengan negara-negara selain AS dan memakai Euro sebagai cadangan devisa dari hasil minyaknya. Ketiga, AS mengalami surplus produksi senjata. AS merupakan produsen senjata terbesar di dunia, namun dalam perkembangan terakhir, konsumsi senjata dunia menurun karena banyak negara mulai mengurangi anggaran militernya termasuk untuk pembelian senjata. Juga, pasca Perang Dingin, banyak senjata-senjata bekas Soviet dan Jerman Timur dijual murah ke dunia ketiga (termasuk Indonesia).

Perekonomian kapitalisme AS mengandung resiko besar karena ketergantungan yang tinggi kepada pasar. Di sinilah sumber kontradiksi utama dari kapitalisme. Pasar bebas yang mengandalkan diri pada free fight liberalism, menyebabkan setiap orang atau usaha dapat melakukan ekspansi ekonomi, namun kemudian pasar akan memilih yang terbaik, dalam artian yang paling murah dan bermutu bagus. Bagi produsen berarti tingkat efisiensi dan efektifitas produksi harus tinggi sehingga bisa menekan harga namun tetap bermutu. Sehingga setiap produsen berpacu untuk berproduksi, karena semakin massal, maka biaya produksi semakin turun. Sehingga kemudian melahirkan hukum ekonomi “penawaran akan menciptakan permintaan” (supply side economic). Secara teori, keadaan ini akan menguntungkan konsumen (pemakai produk) karena bisa memilih yang terbaik. Namun secara praktek, keadaan ini akan melahirkan over-produksi yang memicu penghentian atau pengurangan produksi karena pasar tidak mampu menampungnya lagi. Terus terjadi efek berantai, yang berujung pada stagnasi ekonomi. Keadaan ini pertama kali terjadi tahun 1930-an, dikenal sebagai malaise.

Malaise yang melanda dunia pada tahun 1930-an ini kemudian melahirkan teori developmentalisme. Secara sederhana yaitu bahwa perekonomian tidak bisa semata-mata dibiarkan berjalan secara invisible hands, karena dapat berujung pada krisis. Untuk menghindari itu, maka diperlukan pihak lain yaitu negara. Secara praktek politik, keluarlah New Deal yang dicanangkan oleh presiden Roosevelt untuk mengatasi pengangguran dan stagnasi ekonomi AS.

Namun “krisis” yang melanda AS pada kali ini berbeda dengan malaise pada tahun 1930-an. Pada kali ini, sebagai konsekuensi dari mengglobalnya ekonomi (kapitalisme) dunia yang menjadi program utama AS di dunia, pasar AS dan dunia terbuka bagi produk dari manapun. Di sinilah pokok persoalannya, Uni Eropa dan China berhasil mengkonsolidasikan kekuatan ekonominya dan mulai menjadi pesaing yang tangguh terhadap dominasi ekonomi AS dan sekutunya di berbagai sektor ekonomi (lihat tabel 1). Perlahan-lahan pasar tradisional AS diisi oleh dua kekuatan ini. Bahkan termasuk pasar dalam negerinya sendiri. Sehingga untuk pasar dalam negerinya sendiri, AS telah memproteksi dengan berbagai macam perangkat. Mulai dari standar mutu, “sehat” (untuk produk pangan & obat-obatan), dan bahkan yang terbaru dalam bioterrorism act, mengenai kemungkinan sabotase lewat makanan dari negara-negara yang dicurigai sebagai sarang “teroris”.

Tabel 1
Pembagian Teritori Tritunggal Berdasarkan FDI (Foreign Direct Investment) dengan Bentuk Saham atau Arus Masuk Investasi

  • Pemodal Negara-Negara yang Dibagi Tahun Masuk Bentuk
  • Amerika Serikat Bangladesh, Pakistan, India, Nigeria 1988-1990 Rata-rata FDI
  • Argentina, Republik Dominika, El Salvador, Honduras, Peru, Ghana 1990 Saham FDI
  • Bolivia, Chile, Kolombia, Ekuador, Meksiko, Panama, Venezuela, Filipina, Taiwan, Papua New Guinea, Saudi Arabia 1988-1990 Rata-rata FDI, Saham FDI
  • Uni Eropa Ghana, Zambia 1988-1990 Rata-rata FDI
  • Nigeria, Tunisia, Yordania, India, Sri Lanka, Bangladesh 1990 Saham FDI
  • Slovenia, Yugoslavia, Brazilia, Paraguay, Uruguay, Kenya, Maroko 1988-1990 Rata-rata FDI, saham FDI
  • Jepang Hongkong, Malaysia, Singapura, Sri Lanka, Taiwan, Thailand, Fiji 1988-1990 Rata-rata FDI
  • Republik Korea 1988-1990 Rata-rata FDI, saham FDI
  1. Dari berbagai sumber, dikutip dari Sigit G. Wibowo

Selain pasar, ekonomi AS juga goyah dengan semakin ekspansifnya ekonomi Uni Eropa dan China dalam penguasaan bahan baku. Bahkan China, di tengah krisis ekonomi dunia, semakin menunjukkan tingkat pertumbuhan yang terus naik dengan. Perlahan-lahan dia mulai mengisi pasar-pasar tradisional AS dan Jepang (sekutu dekat AS). Inilah alasan China, Rusia, Jerman dan Prancis untuk menolak agresi militer terhadap Irak. China, misalnya, telah mengadakan perjanjian eksplorasi minyak dengan Saddam. Kemudian Saddam juga telah menjalin komitmen dengan Eropa untuk menggunakan Euro sebagai cadangan devisa, hasil dari penjualan minyak. Sehingga kemudian persaingan dominasi di Timur Tengah berkembang pada persaingan mata uang antara Dolar dengan Euro.

Sehingga minyak jelas terbayang dalam rencana untuk menguasai Irak berdasarkan kepentingan AS. Bahkan, berdasarkan sebuah laporan dari korporasi perusahaan minyak dari Washington Center for Strategic and International Studies, minyak bukan lagi sebuah komoditas yang dibeli berdasarkan keseimbangan tradisional penawaran dan permintaan, namun berdasarkan keamanan nasional dan kekuatan internasional. Sehingga, menurut McMurtry, politik AS menyerbu Afghanistan dan Irak adalah politik Supra-Market (Supra-Pasar), yaitu politik yang dilandasi kepentingan ekonomi AS. Bukan berdasarkan pertimbangan hak asasi manusia, perdamaian internasional, ataupun pertahanan diri. Karena jelas, Israel, negara yang nyata melakukan okupasi dan penindasan hak asasi manusia Palestina tidak mendapat respon militer dari AS.

Negara Diktator Borjuis

Seperti yang telah diuraikan di atas, pemerintahan AS merupakan perslingkuhan antara politisi, pemodal dan militer. Gambaran negara AS memang ideal sebuah pemerintahan negara diktator borjuis dalam teori-teori negara dalam pandangan kelas Marxis. Bagaimana sejarah pembentukan, penegakan hegemoni kapitalis berlangsung secara simultan sampai sekarang. Seseorang tidak akan bisa menjadi presiden AS jika tidak memiliki dana kampanye yang kuat. Sehingga tentunya, siapapun presiden dalam sejarah AS merupakan bentuk persekutuan antara uang dan kekuatan politik (dominasi Kongres (parlemen AS) dan pengendalian militer). Namun dalam perkembangannya, militer AS berkembang menjadi satu kekuatan tersendiri dengan berbagai alat-alat dan program untuk menegakkan dominasi dan hegemoni AS di berbagai belahan dunia.

Untuk menjalankan dominasi AS di berbagai belahan dunia, AS menggunakan berbagai macam alat politik dan ekonomi. Mulai dari tentara, intelijen, diplomasi, dan ekonomi. Alat-alat dominasi pemerintahan AS adalah sebagai berikut:
1. International Monetary Fund (IMF)
2. Bank Dunia
3. World Trade Organization (WTO)
4. Departemen Keuangan AS dan Bank Sentral AS (Federal Reserve)
5. Militer AS (National Security Council, Pentagon dan CIA)

IMF dan Bank Dunia merupakan dua lembaga keuangan utama dunia pada hari ini yang menjalankan program-program penyesuaian struktural (Structural Adjustment Programmes—SAPs) ke ratusan negara-negara sedang berkembang termasuk Indonesia. SAPs berisikan tiga hal pokok, liberalisasi, deregulasi dan privatisasi ekonomi. Program-program ini secara nyata telah membawa banyak negara-negara sedang berkembang ke taraf hidup yang lebih rendah daripada sebelum program. Motif utama bahwa SAPs ini akan meningkatkan tingkat perekonomian tidak lain merupakan dasar bagi penguasaan sektor-sektor produksi penting oleh perusahaan-perusahaan transnasional dunia yang sebagian besar bermarkas di AS (dan tentunya terlibat dalam politik AS). Kebijakan yang menguntungkan ekonomi AS ini tentunya tidak terjadi secara tidak sengaja. AS merupakan kekuatan dominan di IMF dan Bank Dunia, di mana jika digabung semua suara puluhan negara-negara miskin dan berkembang yang menjadi anggota IMF, tidak akan cukup melawan dominasi AS dengan 18% suara. Belum lagi jika digabung dengan suara anggota G7 lainnya, maka lengkaplah dominasi 46% dari suara di IMF merupakan kepentingan negara-negara kapitalisme maju.

Tidak jauh berbeda dengan WTO. Lembaga ini merupakan tempat berkumpulnya negara-negara yang melakukan perdagangan dunia. Berdiri pada tahun 1994, hasil putaran Uruguay, sebagai kelanjutan dari General Agreement on Tariff and Trade (GATT), WTO merupakan satu lembaga internasional yang mengurusi masalah kesepakatan-kesepakatan internasional mengenai ekspor-impor, standar produk, dan lain-lain. Salah satu contoh kesepakatannya adalah Agreement on Agriculture (AoA) yang berisikan tentang penghapusan restriksi (pembatasan) pasar pangan. Ada dua konsekuensi, yaitu, pertama menghapuskan tarif impor dan bea ekspor dan kedua, menghapus subsidi-subsidi untuk pangan. Artinya sekali lagi, tidak jauh berbeda dengan IMF dan Bank Dunia, kesepakatan-kesepakatan WTO merupakan bentuk penjajahan baru terhadap kedaulatan petani dan lebih jauh kedaulatan bangsa.

Posisi Departemen Keuangan AS dan the Fed merupakan tempat penggodokan dan pembuatan kebijakan ekonomi AS. Misalnya Departemen Keuangan AS ini membuat kebijakan tentang penaikan pajak, yang akan memicu berbagai perubahan di berbagai sektor ekonomi. Juga departemen keuangan ini mewakili pemerintah AS dalam pembuatan kebijakan di IMF dan Bank Dunia. Sehingga, karena IMF, Bank Dunia, dan Departemen Keuangan AS berada di Washington dan banyak dikendalikan oleh AS, maka ketiga lembaga terakhir ini sring dinamakan sebagai Washington Consensus (Kesepakatan Washington). Sementara the Fed merupakan bank sentral paling berpengaruh di dunia, dengan tingkat cadangan emas (sebagai standar satuan Dolar AS) yang besar. Setiap perubahan suku bunga bank yang dikeluarkan oleh the Fed akan mempengaruhi banyak mata uang lain, karena banyak negara menggantungkan diri kepada Dolar AS. Bahkan berkembang anggapan bahwa the Fed mempunyai pengaruh yang lebih besar daripada Gedung Putih sendiri.

National Securitiy Agency, Pentagon, dan CIA menurut John McMurtry merupakan masyarakat rahasia yang memerintah dunia melalui kekuatan teror bersenjata, disinformasi massa, jaringan narkotika rahasia, dan korupsi dan kekerasan politik di setiap level. Saking berkuasa dan rahasianya, lembaga-lembaga ini beraktivitas kadang tanpa diketahui oleh pemerintah AS sendiri. Lembaga-lembaga tersebut beroperasi di puluhan negara, terutama di negara-negara yang potensial menjadi ancaman bagi dominasi ekonomi politik AS. Mereka (terutama CIA) sering melakukan aktivitas intelijensi dan bahkan aksi bersenjata dengan memakai tudung kekebalan diplomatik yang mereka miliki.

Beberapa cara yang umum dipakai CIA seperti:
a. Penggunaan media massa, baik media (bawah tanah) sendiri maupun media massa umum untuk mengaburkan informasi sehingga menghadirkan “fakta” yang berbeda kepada masyarakat;
b. Penggunaan teror bersenjata, kudeta, pembunuhan politik dan sebagainya seperti yang pernah dipakai dalam penggulingan Soekarno;
c. Penggunaan “Cultural Front” yaitu menggunakan organisasi-organisasi massa, lembaga-lembaga swadaya masyarakat, dan termasuk lembaga-lembaga donornya untuk membelokkan arah orientasi perjuangan masyarakat.

Roland G. Simbulan, dosen Universitas Filipina, yang meneliti tentang peranan CIA di Filipina menyebutkan tentang beragamnya aktivitas CIA, mulai dari aktivitas yang lunak sampai keras. Setiap stasiun CIA secara virtual (karena tidak resmi berbentuk markas CIA, biasanya memakai kedutaan atau lembaga penelitian) merupakan sebuah infrastruktur untuk intervensi politik, militer, budaya dan bahkan ekonomi. Di Filipina, CIA tidak hanya berfungsi sebagai pos yang mendengar, namun juga secara aktif terlibat dalam operasi tertutup, sabotase, pembunuhan, dan intervensi yang merendahkan kedaulatan Filipina dan kebijakan nasional untuk menentukan nasib sendiri.

Bersama dengan National Security Agency (NSA), CIA juga membuat “Proyek Echelon”, sebuah tekhnologi paling rumit dan maju untuk memata-matai. Melalui sebuah sistem relai satelit dan stasiun bicara di Australia, Selandia Baru, Inggris, Kanada, dan AS, intelijen AS mampu berhubungan, memonitor, dan memproses semua transmisi telepon, fax, email, internet dan telpon genggam di seluruh dunia. Pusat sarafnya di Fort Meade, Maryland, di mana NSA bermarkas. Kemampuan ini berimplikasi pada kemampuannya untuk menyadap rahasia umum dan pribadi kita. Sehingga, teknologi ini, pada tahun 1998 di parlemen Eropa pernah disinggung karena potensial untuk mematai siapapun, termasuk siapa-siapa yang memusuhi sekutu AS sendiri.

Sehingga, dengan berbagai perangkat dan kemampuan intelijen dan militer ini, CIA banyak terlibat dalam berbagai perubahan politik di berbagai negara (lihat Tabel 2). Bahkan, CIA tidak perlu memakai cara-cara keras untuk menjamin dominasi AS di berbagai negara dunia ketiga. Dalam “Cultural Front”, CIA memakai lembaga-lembaga swadaya masyarakat dan organisasi-organisasi masyarakat sipil yang didanai oleh lembaga-lembaga donor seperti Asia Foundation, Ford Foundation, USAID, dan National Endowment for Democracy. Menurut James Petras, program-program yang ditawarkan lembaga-lembaga donor tersebut bertujuan “untuk memistifikasi dan membelokkan ketidakpuasan, menjauh dari menyerang struktur kekuasaan dan keuntungan perusahaan/ bank transnasional melalui proyek-proyek mikro tingkat lokal... yang menghindari analisis kelas eksploitasi imperialisme dan kapitalisme. Neoliberalisme hari ini membuat NGO melakukan proyek-proyek bukan gerakan; mereka memobilisasi rakyat untuk berproduksi di pinggiran, bukan untuk berjuang mengkontrol alat produksi dan kesejahteraan; mereka memfokuskan diri pada aspek-aspek finansial teknis proyek, bukan pada kondisi struktural yang menentukan kehidupan sehari-hari rakyat. “sembari menggunakan bahasa kiri seperti “pemberdayaan masyarakat”, “kesetaraan gender”, “pembangunan berkelanjutan”, dan sebagainya, NGO-NGO ini didanai oleh USAID, Asia Foundation, dll. Mereka telah membuat jaringan kerja kolaborasi dengan donor dan bahkan lembaga-lembaga pemerintah, yang mensubordinasikan aktivitas politik ke politik non-konfrontasi, bukan gerakan massa militan.”


Tabel 2
Beberapa Kejatuhan Pemerintahan dan Peran AS

  • Negara Rezim Tahun Keterangan
  • Guyana Cheddi Jagan
  • (Sosialis Demokrat) 1961-1964 CIA melakukan intervensi dengan menghembuskan prmusuhan rasial antara orang Afro Guyana dan Indo Guyana. Rezim Forbes Burnham yang korup dan jahat menggantikan.
  • Indonesia Soekarno
  • (nasionalis populis) 1945-1966 Politik luar negeri Soekarno yang anti AS dan Inggris serta nasionalisasi banyak perusahaan asing termasuk milik swasta AS, membuat Soekarno digulingkan tahun 1966 melalui kudeta militer Soeharto (Orde Baru) yang didukung oleh AS dan Inggris.
  • Cile Salvador Allende 1970-1973 Kudeta militer. Pemerintah AS dan perusahaan multi nasional bekerjasama menggulingkan Allende. Robert Gelbard, utusan AS berhasil memecah belah oposisi. Diganti dengan rezim diktator Pinochet.
  • Guatemala Jacob Arbenz
  • (Nasionalis Populis) 1950-1954 Mengekang kekuasaan United Fruit Company milik AS serta memberikan hak-hak sosial bagi serikat-serikat kerja. CIA bekerjasama dengan kelompok AD Guatemala menggulingkan pemerintahan. Korban 200.000 nyawa.
  • Iran Muhammad Mossadegh 1954 Digulingkan dengan didanai dan didalangi CIA. Diganti Syah Pahlevi yang menjamin bisnis AS dan mencegah sentimen nasional Iran.
  • Haiti Bertram Aristide
  • (rejim korup) 1991 & 1994 Dukungan Washington.
  • Nikaragua Sandinista 1984 & 1989 Washington tidak mengakui kemenangan Pemilu Sandinista. Dikalahkan oleh Violeta Chamorro, sayap kanan yang pro Washington.
  • Afghanistan Mullah Omar 2001 Mencari Osama Bin Laden sebagai kedok untuk menggolkan kepentingannya akan pembangunan pipa kilang minyak di Afghanistan. AS dan sekutunya melakukan agresi militer. Ahmad Karzai dipasang sebagai rejim boneka menggantikan Mullah Omar.
  • Venezuela Hugo Chaves 2002 Kudeta berhasil menaikkan Pedro Carmona yang didukung oleh AS. Tapi Carmona ditolak oleh Mahkamah Agung dan militer. Terbuka tabir keterlibatan seorang letnan Angkatan Bersenjata AS.
  • Irak Saddam Hussein 2003 Ini bukan untuk yang pertama kalinya. Kepentingan AS atas minyak bumi di Irak sebagai penghasil minyak terbesar ketiga di dunia selalu terhalangi oleh Saddam Hussein. Akhirnya, Maret 2003 ini, AS melakukan agresi militer ke Irak
  1. Dari berbagai sumber, dikutip dari Sigit G. Wibowo

Agresi AS ke Irak Mempertajam Kontradiksi

Tahun 1960-an, di Eropa dan Amerika pernah tercipta “Flower Generation” (“Generasi Bunga”) yang melakukan gerakan penentangan perang. Generasi ini muncul dengan gaya hidup dan ideologi yang menolak kemapanan (kapitalisme AS) yang bertindak machiavellis dengan melakukan perang di berbagai belahan dunia. Secara intelektual, pada waktu ini marak kemunculan tradisi inteletual Marxis dan Post-Marxis. Muncul perdebatan tentang sebuah alternatif dari kebuntuan politik dunia di bawah kapitalisme AS yang melakukan agresi ke berbagai negara seperti Vietnam. Sehingga kemudian marak kelompok-kelompok baik bergerak secara damai atau bersenjata mengklaim berideologi Marxis dari berbagai aliran.

Sekarang, di era agresi AS ke Irak, terdapat sebuah kesempatan untuk meluaskan pandangan alternatif (dan memang sebuah kemajuan) dari sistem bobrok yang mendominasi dunia hari ini. Kesempatan untuk mempertajam kontradiksi, bahwa imperialisme-lah yang berkuasa di dunia hari ini dengan alat utamanya negara AS. Jika sebelum agresi ke Irak kita menamakan “Era Pasca Perang Dingin”, maka setelah agresi AS ke Irak, kita telah memasuki era baru: “Era Pasca Agresi AS”. Di mana, pasca Perang Dingin, kita melihat seolah-olah negara sudah tidak berperan lagi, ternyata eksistensi negara tidak menghilang malah semakin kuat. Tidak ada negara manapun sekarang ini yang mempunyai kekuasaan sebesar AS. Teori lama kita yang mengatakan bahwa negara adalah kepanitiaan dari kelas berkuasa masih berlaku. Teori bahwa dunia hari ini dikuasai oleh imperialisme, maka negara-negarapun dikuasai oleh imperialis masih benar.

Sehingga, di tingkat dunia, terjadi dua front pertempuran. Pertama, antara rakyat sedunia, yang tertindas dan terhisap dalam imperialisme, melawan perusahaan-perusahaan transnasional yang menjarah hak-hak hidup mereka, antara pemilik modal dengan bukan pemilik modal, antara proletariat dan borjuasi nasional yang dirugikan melawan kapitalis imperialis. Kedua, front pertempuran antara negara-negara yang dirugikan oleh imperialisme (negara-negara sedang berkembang) melawan dominasi AS dan sekutu-sekutunya yang mendukung imperialisme, antara kedaulatan nasional melawan intervensi luar negeri. Irak, Iran, Kuba, Libya, Korea Utara, dan beberapa negara Amerika Latin termasuk pada blok negara-negara yang pertama.

Di mana posisi Indonesia? Indonesia di bawah rejim SBY-JK merupakan kaki tangan (komprador) kepentingan AS dan neoliberalisme. Sehingga rakyat Indonesia hari ini berhadapan dengan dua front pertempuran. Pertama, berhadapan dengan negara yang tidak lagi mensejahterakan. Negara yang mencabut subsidi-subsidi dan mengurangi anggaran-anggaran untuk sektor publik berdasarkan kesepakatan dengan imperialis. Pertempuran melawan borjuasi komprador dan borjuasi kapitalis birokratik. Kedua, berhadapan dengan kekuatan kapitalis imperialis yang masuk ke negeri ini dengan memboncengi program-program IMF, Bank Dunia, dan WTO yang disahkan oleh negara. Pertempuran melawan imperialis yang mengambil hak-hak hidup orang banyak, merampok aset-aset produksi vital bangsa, dan membuat si miskin semakin miskin. Pertempuran antara si proletar dengan si kapitalis imperialis. Melawan imperialis yang menjarah Semen di Padang dan Gresik, Tembaga di Soroako, Emas di Papua, Minyak di Riau, Aceh dan Kalimantan.

Maka, penolakan kita terhadap agresi AS ke Irak merupakan bentuk perlawanan kita menentang imperialis, yang juga menjarah hak-hak hidup rakyat Indonesia. Bahwa, ketika kita melawan dominasi AS, maka kita bisa juga diperlakukan seperti Irak. Perang ini akan menjadi kesempatan bagi kita, kaum sosialis, untuk menawarkan suatu kemajuan, suatu yang lebih baik, suatu yang mensejahterakan rakyat: Sosialisme! []
Jumat, 09 November 2007

Tidak ada komentar: