NOTE


KADO KE-34

Apa yang akan kuceritakan padamu masa depan, tentang hari ini, di umurku yang menginjak 34 tahun. Tentu saja pergolakan yang tak pernah bertepi, selalu saja silih berganti kegelisahan, kebanggaan, dan tak luput kejutan-kejutan.

Waktu adalah keniscayaan, dan ruang adalah keterbatasan, di antaranya lompatan-lompatan quantum lahir dari hukum gerak yang ada. Di sinilah mozaik-mozaik hidup kita pahatkan, untuk kembali dibaca ulang, untuk menjadi tatakkan ke ruang masa depan.

“Demi waktu, sesungguhnya manusia dalam keadaan merugi. Sementara demi ruang, manusia saling berebut dan berperang satu sama lainnya. Ada yang mundur bahkan terkubur, ada pula yang maju sebagai kebaruan.”

Ruang demi ruang disesaki dengan poster-poster, baliho-baliho, dan rupa-rupa yang penuh warna. Secara sinis aku memandangnya sebagai hubal-hubal modern. Dimana ruang hanya dipenuhi rupa tanpa makna. Bahkan narsisme yang tak memberikan pesan dan keteladanan apapun pada kalian pemilik masa depan.

Inilah peradaban yang harus diluluhlantakkan.

Inilah kegelisahanku masa depan, ketika ruang menjadi relatif dalam genggaman tapi pengetahuan justru menjadi kemewahan. Ketika akses ke putaran waktu menjadi semakin cepat, kenapa peradaban hanya melahirkan kelatahan dan kaum epigon.

Aku sudah berjalan jauh, dari Kayutanam ke Bulaksumur, dari Dewan Mahasiswa sampai ke NasDem, dari Rusun Cawang sampai ke Menteng. Tak ada arti memanjakan gelisah bila hanya membiakkan mental kardus apalagi mencari-cari pembenaran.

Di umurku yang ke-34 ini, aku berikhtiar layaknya Plato menjungkirbalikkan kelaziman untuk tidak menggunakan dalil-dalil yang seharusnya digunakan untuk menyelematkan dirinya. Tapi aku tidak sedang bermaksud untuk menghakhiri hidupku seperti Plato yang hanya besar dalam Apologianya tanpa ada perubahan dan peradaban baru.

Wahai masa lalu dan masa sekarang, kau boleh saja menertawakan serta mencemooh kami anak-anak zaman. Tapi ingat kami sedang bergerak ke masa depan. Dari lembaran diktat-diktat, dari halaman-halaman internet, dari ruang diskusi-diskusi, dari satu aksi ke aksi, kami sudah punya rencana untuk mengubur hubal-hubal yang menistakan kesucian Ka’bah (ruang publik) serta menemukan kembali telaga Zamzam (pengetahuan) sebagai mata air peradaban. Kamilah semangat zaman yang penuh keberanian!

Kebonnanas, 12 April 2012 


DARA WITA ANASTASIA

Langit Jakarta mengharu-biru, digores lembayung kuning, orang-orang masih saja berotasi menyusun rumah dan surau. Aku berkemas untuk mengajak emakmu yang sedang berat, seberat perdebatan rumah dan surau bagi mereka yang sedang berotasi untuk menuntaskan identitas.

“It’s the last battle!’ begitu jelas dan menancap di kepalaku. Itu bagi mereka yang di ambang senja. Tak hanya ungkapan tersebut yang berpendar di kepalaku, hal yang membuat aku terenyuh adalah “nek metu ne gede, opo mungkin ora ono pambrih ne!” ya, itu pula hukum alam yang selalu tertuang dalam sejarah!

Aku tidak sedang silau dengan matahari, apalagi gagap dengan lingkaran, bagiku, bapakmu ini, mulai berikhtiar untuk ikhlas, seperti seorang tua katakana, “kau boleh kerja secapek apapun, tapi jangan pernah pusing alang kepalang yang akan menyakiti badan, hati, dan jiwamu!” aku tersentak, inilah makna kongkrit dari quantum ikhlas tersebut.

Emakmu, adalah perempuan yang tangguh. Ia membawamu melintasi panjangnya jalur busway, ia turun naik tangga yang aku saja tak pernah alami rutinitas seperti itu. Aku bahagia dalam air mata yang jatuh ke dalam. Emakmulah yang membukakan pintu rumah setiap kali aku datang sudah larut malam. Bahkan hampir adzan subuh. Emakmu selalu bilang, ia dan kamu tak bisa tidur kalau aku tak memutarkan kakinya dan tak membacakan asma Allah padamu.

Anakku, tanggal 30 Januari 2011, perhelatan ini baru dimulai, suatu prosesikhas masyarakat yang miskin identitas, atau setidaknya peradaban yang tidak puguh dalam jati diri. Semua serba megah, semuanya serba berkelindan cahaya, dan penuh balon-balon plastik.

Anakku, perhelatan ini selesai tanggal 1 Februari 2011, dimana kata menggema seperti Martin Luther yang dikutip dalam pidato perayaannya. “We have a dream!” ya, kamulah mimpi dan harapan itu anakku. Bukan mimpi dan harapan bagi kulit hitam yang ingin bergandeng tangan dengan kulit putih dalam membangun demokrasi Amerika.

2 Februari 2011, pagi hari, emakmu, bercerita padaku, kau sudah member salam untuk datang. Aku bersiap untuk meminta bala bantuan pada nenekmu di seberang pulau, untuk menemani proses kelahiranmu. “kalau tidak nanti malam, mungkin besok, si adek sudah akan bersama kita menghirup udara Jakarta, pa!” itulah keterangan emakmu.

Anakku, tanggal 3 Februari 2011, adalah waktu bagi masyarakat Tionghoa merayakan Imlek. Ini adalah saat Dewi Kwan Im turun dalam semaraknya Gong Xi Fa Chai. Ini adalah tahun pergantian dari tahun Macan Emas ke tahun Kelinci Emas.

Sedari pagi kamu terus menggetuk pintu rahim emakmu, seperti sedia kala, emakmu pergi ke pasar dan tak lupa sarapan soto ayam kesukaannya. Setelah itupun masih teringat untuk membeli perlengkapan bulanan rumah, emakmu terus mengerang kesakitan.

Pukul 13.50, emakmu meminta aku untuk menghitung frekuensi salammu, kamu sudah semakin sering bertasbih, kali ini setiap 5 menit. Aku meminta emakmu untuk mandi membersihkan diri, tetapi dia sudah mempunyai rasa yang aku bisa lihat dan berempati. Emakmulah yang mengerti persis bagaimana tanda-tanda itu akan tuntas.

Pukul 16.00, kami tiba d RSIA Hermina, tempat yang taka sing bagimu, dimana check up selalu di tempat ini. Kami pergi di tengah tangis abangmu yang memberikan laku cemburunya. Kami sadar, bahwa ini adalah siklus manusia dalam keluarga. Abangmu punya cara tersendiri menyambutmu. Dia pula yang sering menghiburmu dan emakmu bila aku pulang larut malam.

Pukul 17.50, kamu hadir bersama serenade yang mengalun begitu merdu dan syahdunya. Kamulah yang menjadi pelantun tembang itu anakku. Kamulah yang melengkapi keluarga ini menjadi paripurna. Aku sibuk berkabar pada sanak-famili, memberitakan kegembiraan ini.

Malamnya aku membersihkan ari-arimu, dengan tangan sendiri. ketika kelahiran abangmu, aku diusir sopan oleh bu Dokter, berbeda dengan kehadiranmu, aku menyaksikan detik, proses, dan eksekusinya anakku.

Anakku, aku ingin kau tumbuh menjadi bundo kanduang, seperti harapan yang kutulis dalam bejana itu. Aku beri namamu seperti tradisi Minang memanggil para perempuannya, Dara Wita, Perempuan yang penuh kekayaan. Kekayaan budi pekerti, kekayaan ilmu pengetahuan, kekayaan agama, dan kekayaan harta. Anastasia, seperti Restorasi Indonesia yang aku tekuni, itulah bahasa Yunani, yang bermakna kebangkitan kembali dari sebuah harapan.
Inilah kadoku untuk kau baca ulang anakku, Dara Wita Anastasia!


Awal Juni 2009

Angin masih saja berputar-putar, kadang menerpa muka, telinga dan membuat keringat di badan jadi kering. Acap kali orang bilang, ah hanya angin surga, hanya manis di mulut tapi tak ada nyatanya.

”kau punya niat baik, aku punya niat baik, kenapa niat baik sama niat baik berkelahi!”

Begitu kalimat dalam sajak W.S. Rendra, karena dalam hidup tak hanya cukup niat baik. Tak hanya niat, kadang kerja baik dengan kerja baik juga tak saling bertemu, lalu apa yang saling bertemu dan bersama dalam hidup.

Bisa saja hanya ruang yang membuat orang saling dekat, bisa saja hanya waktu yang mempertemukan orang. Pragmatisme membangun pilar bahwa kepentinganlah yang dapat mempersatukan orang walau itu hanya sesaat dan bahkan sesat. Salahkah Bung Karno dengan romantismenya mempersatukan beberapa pilar besar atas nama Republik?

Sekali lagi mungkin hanya tafsir sejarah yang bisa membuat segala yang bergerak menjadi teratur dan bisa dibaca. Bahkan pikiran dan jalan diri sendiripun tak bisa dibaca, karena itulah sebagian besar orang hidup dalam situasi stres dan sakit jiwa.

Post Strukturalisme menempatkan banyak kontradiksi yang sifatnya serabutan, tak memiliki arus besar sebagai suatu fokus. Ya, ada banyak sengkarut, ada banyak lapisan dalam setiap kontradiksi. Lalu dimana kontradiksi dasar dan pokok berdiri? Apakah semua grand narasi tersebut hanyut bersama waktu ke cakrawala? Bisa jadi.

Lihat saja, ketika orang menggaris pilih atas suatu posisi, bisa dengan cepat dinegasikan karena pilihan tersebut dihimpit oleh pilihan lainnya. Lalu semua orang sibuk menggali kuburan sendiri dalam hati dan pikir yang sempit.

Inilah alam, hidup dan perjalan waktu yang kadang tidak pernah jelas dan tuntas. Pengabdian hanya tinggal sebagai niat, karena niat baik selalu disanksikan, karena pekerjaan baik sering kali dipandang remeh dan tak bertempat. Karena mencerca keadaan hanya sebuah tindakan yang sia-sia. Karena mencaci diri sendiri adalah penghinaan yang besar pada sejarah.

Atas segala pengalaman dan perjalanan ke depan, kuaklamasikan hidupku sebagai tindak yang bermanfaat pada sekecil apapun ruang dan waktu yang terlewatkan. Tak perlu diari atau museum sejarah untuknya. Sampai sebelum kuasa ada dalam ragaku ini.


BIDUK 2007

Hujan tak henti-henti meratap dan membuat orang berkemas lalu menjadi pengungsi ke tempat-tempat yang asing bagi mereka. Masih adakah senandung para moyang tentang hujan adalah anugerah untuk menandakan masa tanam tiba

2007, dalam hitungan masa, tentu terlalu singkat sebagai ukuran bahwa hidup sudah beranjak ke usia 30 tahun dimana orang-orang sibuk dengan pilihan dan identitas. Jauh sebelum banjir datang aku sudah berubah dan berbuah sebagai hikmah atas waktu dan perjalanan usia.

Akhir tahun 2006, aku sudah membangun biduk untuk tidak lagi gamang melihat ombak dan banjir yang datang menahun dan menyusahkan. Akhir 2007, tak ada kata yang indah selain selamat bahwa biduk ini sudah berjalan mengarungi batu karang dan kami sudah mejaring ikan dari pergulatan badai di tengah samudera.

2007, perjalanan di padepokan Ganesha satu semester lagi akan kelar dan jurus-jurus yang diberikan masih saja kaku untuk ditarikan serta mantra-mantra masih saja terbata-bata untuk dieja. Begitulah masa bila tak dikemasi dan dinisankan selalu saja kita alfa sebagai manusia yang selalu kurang akan catatan sejarah, bahkan untuk diri sendiri.

2008, sapa masa silam, selalu saja harap terbersit dari asa dari qalbu ini, bahwa pematang telah kusiangi, dan hujan sudah turun, lalu akankah kau menanam biji-biji pilihan dan akan tumbuh darinya ke bawah akar-akar yang kuat dan mengcengkram tanah lalu menghisap air. Ke atas akan tumbuh batang-batang yang kuat untuk menyangga, ranting-ranting yang menyebar dan dedaunan yang hijau untuk melinudngi dan menyerap cahaya matahari.

Bersama semangat pendaratan teluk babi, bahwa misi sudah dimulai dan pasukan sudah menyebar, bedil dipanggul dan desa-desa focoult bertepuk riang bahwa tak ada kata menyerah untuk suatu kemenangan dan sejarah.

Bersiaplah seperti kau akan menyerang benteng lawan sebelum fajar menyingsisng, berlindunglah didekap ibumu seperti kau sedang menetek padanya, dan berjamaah seperti dalam sholat dimana ada imam dan makmum untuk suatu tertib sosial mencapai tujuan bersama-sama untuk kemaslahatan umum.


ALIF CAMILO ADIWIJAYA
(Refleksi Oktober)

Walaupun terlambat hujan turun mengendus kulit bumi, asap dan debu menguap ke langit dan katak bernyanyi menyambut musim kawin datang. Oktober di penghujung 2008, suatu cacatan penting dalam hidup bahwa pelanjut angkatan sudah datang. Bukan bersama sumpah pemuda yang diperbaharui oleh kaum muda yang mengemis kekuasaan pada para elit politik untuk berganti. Bukan pula bersama peringatan revolusi Bolsevik yang menggemparkan dunia di awal abad ke-20.

Alif itu datang bersama Hyang Asmara pada Selasa Kliwon dalam penanggalan Jawa dan spirit Syawal yang penuh kemenangan bersama gema takbir dan tahmit. Dari malam 29 Oktober, kau sudah mengetuk pintu rahim ibumu, sehingga ibu harus berkemas dan menitipkan aortanya pada sang Kuasa.

Camilo, mengingatkan aku pada suatu pertempuran! Di atas meja persalinan, pintu terbuka lebar tetapi kau masih enggan untuk menemui kami. Beberapa kali aku membantu ibumu untuk terus mendorong pintu itu. Sudah hilang kesabaran kami untuk mendengarkan pekik merdekamu dengan darah yang terus mengujur membasahi kain panjang ibumu. Namun, kau punya jalan sendiri untuk merdeka, dijemput dengan mesin ibu dokter yang mempesilakan aku bapakmu untuk keluar dari ruang bersalin.

Adiwijaya, pagi 30 Oktober, jarum jam di rumah bersalin adinda menunjukkan pukul 08.20, sesudah aku berhajat pada sang Kuasa dan memberi salam pada malaikat di sebelah kanan, di ruang bawah malaikat kecilku menyahut ”wa’alaikumsalam!’ pekikmu!

Sebentar dunia hening menyambut pekikmu, dan sujud di tikar rotan. Bahagia air mata dan ucap selamat melengkapi kemanusiaanku di bumi dan atas nama suatu keluarga dalam masyarakat manusia ini.

Begitulah kami bersepakat memanggilmu, Alif Camilo Adiwijaya, anak merdeka yang lahir di Yogya, kota penuh cinta, semangat emansipasi, dan solidaritas antar sesama.



KEPALA TIGA SATU

Waktu tak ada habis-habisnya. Banyak cakap dan debat tentang waktu, ada yang bilang waktu adalah uang, waktu adalah sesuatu yang sangat berharga serta tak jarang waktu juga banyak yang dibuang sia-sia.

Tak banyak yang dapat diceritakan, seolah nafas, usia dan karya pacu-memacu dengan cita-cita. Di sela ruang dan waktulah aku menyempatkan menulis bait bahwa aku harus memberikan kado ulang tahun walau terlambat.

Inilah kado yang kupunya untuk diriku, sebuah catatan kecil dalam blog, untuk menghormati diri sendiri bahwa ulang tahun adalah penanda dan simbol yang selalu berulang. Disinilah kita menulis ulang, mengingat kembali dan mentasbihkan doa pada Tuhan.

Bahwa, perjalanan usia dalam waktu dan karya dalam ruang adalah suatu kemutlakan. Selamat ulang tahun kuucapkan pada diri sendiri, berkacalah, berkacalah, teguhkanlah pilihan karena "kau sudah 31 tahun!" inilah masa memulai sesuatu yang tergaris oleh tangan dan alam.

Berjanjilah pada diri sendiri, pada keluarga dan pada masa yang akan datang bahwa "menunda kesenangan adalah sesuatu kebaikan!" bahwa kemuliaan adalah hasil kerja keras, cucuran keringat tanpa memotong hak orang lain. Makan dan minumlah dari tangan sendiri dan jangan mengambil yang bukan hakmu.
"selamat ulang tahun, bung!"



ADAPTASI

Tanpa ba, tanpa bi, tanpa bu, lalu tanpa babibu, semuanya menjadi nyata dan dilakoni dalam keseharian. Tak pernah terbersit dalam citaku atau sekedar untuk berpikir akan situasi ini. Setidaknya memang begitulah dan begitulah memang adanya sekarang.
Seperti mesin orang-orang berkata, bahwa pergi pagi dan pulang malam, seharian di depan komputer, menggeluti sesuatu yang sama sekali baru bagi hidup ini. Membuat surat resmi, mengatur jadwal pertemuan, memesan tiket ke travel agen, menuliskan notulensi pertemuan, mem-foto copy bahan-bahan pertemuan, mendokumentasikan materi dan arsip pekerjaan dan segala sesuatu yang tak sempat aku lakukan dahulunya.

Berstatus “konsultan” dan “digaji lumayan” adalah suatu hal yang tak bisa disangkal. Bahwa banyak pilihan itu semestinya namun tak banyak ruang yang tersisa adalah keadaan. Bahwa bersukarialah para seniman yang dibayar mahal atas suatu kesenangan dan kemerdekaan dari
karya-karya mereka.

Inilah suatu hijrah atau adaptasi, dari seberang kemulian berpikir dan keliaran gagasan ke dalam pekerjaan administratif yang kaku dan punya standar operasional prosedur. Menantang sekaligus menjemukan bahwa inilah kenyataan yang tak sesuai dengan cita dan khayalku.
Jalani saja, toch hidup ini selalu bermuara pada suatu yang lebih luas. Seperti sungai-sungai mengalir ke lautan dan seperti burung-burung berkicau di langit biru. Kuharap semoga hendak dan harapku akan berenang-renang di samudra luas dan langit biru dengan kebebasan pilihan, kemerdekaan waktu dan kemandirian keuangan terhadap hidupku. Seolah eksistensialis kedengarannya namun begitulah untuk hidup, bahwa kerja adalah untuk merealisasikan eksistensi adalah benar, tetapi kebebasan dalam memilih pekerjaan adalah kebenaran!


OOOIII KELEDAI MAK OOII
(refleksi November)

“apakah kau yakin ini tak akan terulang lagi!”Sejarah adalah pertentangan masa sekarang dan masa lalu untuk masa depan yang baik. Setidaknya begitulah, banyak cakap yang selalu hinggap di kepala ini dan tumbuh jadi kepercayaan sedari dulu. Sampai suatu masa dimana masa itu seperti terulang lagi, bahwa ini untuk kesekian kali. Langit begitu kelam, semua menjadi bayangan, dan aku kembali bertualang dengan ketidakpastian.Sedari dulu matahari selalu menyinari bumi dan kehidupan, namun matahari membuat panas dan gerah para manusia dan kemudian orang-orang murk.

Matahari tak lagi dipercayai untuk menyinari dan orang-orang berkemas untuk berumah dalam diri sendiri.Matahari, apakah kau punya bayangan? Setidaknya di bumi dan semesta yang kau sinari. Satu per satu mulai murka padamu. Bahwa berulang kali kau ucapkan sajak Rendra, dan berulang kali pula kau mejadi keledai dungu untuk menggali liang kubur untuk cahayamu sendiri.Bahkan di ujung kenihilanmu, kau menggantungkan leher dan imanmu pada jalan lain yang selama ini susah payah kau bangun di atas puing-puing renaissance dan kemegahan filsafat.

Kau mencoba mengenali bau amis darah, warna tanah, dan sedikit berkompromi tentang makna surga di dunia. Akankah semua akan bisa kau kenali satu persatu, atau kau sedang kehilangan dirimu dalam sendiri.Matahari, di senja kala, kau ditelan bulat-bulat oleh mulut laut, walau tak ada yang menyangsikan kau akan hadir di ufuk timur keesokan hari, ooooiii mak ooiii, malam itu panjang sekali, apakah kau hanya akan mengikuti siklus alam. Sementara keyakinan kecil dalam hidup acap kali berdendang bahwa tak ada yang evolutif dalam realitas sosial.Berulang kali kau sanksi akan dunia yang monolitik, sampai kau tergoda oleh Kahn dan melihat perimbangan peradapan antara sensasi dan imaji.

Tetapi apakah kau akan bermoral seperti Kahn dengan imperatif kategorisnya? Alah, dungu sekali kau seperti keledai beban.Aku sudah memberikan kau berbagai kitab, Art of War-nya Sun Tsu, untuk kau bisa mengasah lakumu. Tak kurang juga aku sisipkan The Prince-nya Machiavelli untuk kau menjadi binatang sosial dan mengerti kalau alam ini keji.

Matahari, sebentar lagi kau akan memilih untuk menancapkan umurmu di semesta ini, di bumi mana kau akan tanam namamu, sebab hidup harus memilih dan jangan pilih kasih atau belas kasihan kalau kau mau dan mau. Berulang kali Nietczhe memilin kupingmu bahwa kehendak ada dalam diri dan dunia. Bahwa setiap orang adalah kehendak, dan perang adalah pemaksaan kehendak, lalu kehendak siapa yang akan menang!