Kamis, 29 September 2011

Konvensi: Demokrasi ala Athena dalam Tribun Romawi


Willy Aditya

Dalam 13 tahun reformasi, kehidupan politik justru terkapling-kapling dan seolah menjadi arena konfrontasi antar dinasti politik. Kita bisa melihat pertarungan politik antara dinasti Soekarno, Hasyim Asy’ari, Sarwo Edhi Wibowo, Mohamad Hatta, Ahmad Yani, Hamengku Buwono, sampai dinasti Soeharto. Arus politik  seperti berbalik arah ke masa feodal di mana kontestasi terjadi berdasarkan garis silsilah. Kultur dinasti semacam ini sesungguhnya merupakan penyakit kronis bagi masa depan politik Indonesia. Politik bukan lagi ruang bebas bagi semua lapisan publik dalam memperjuangan kepentingannya, tapi dikooptasi dan mengalami domestifikasi pada segelintir keluarga atau kelompok. Jabatan-jabatan publik hanya dioper-alihkan dari satu anggota keluarga ke anggota lainnya.

Sebagai instrumen demokrasi, pemilu tak pernah membatasi partisipasi orang berdasar ras, agama, suku asal-usul, ataupun hak waris. Oleh karena itu, dibutuhkan sebuah sistem regenerasi yang tak hanya mengkonservasi kepentingan dinasti semata, tetapi menjamin keterwakilan dan aspirasi semua lapisan publik. Di sinilah, partai politik sebagai instrumen tunggal demokrasi dituntut untuk mengembangkan mekanisme yang terbuka dan fair guna memberi kesempatan, menjaring, menseleksi, dan mempromosikan bakal calon pemimpin-pemimpin masa depan yang telah teruji kapasitasnya dalam perjuangan ranah publik.

Konvensi Politik: Belajar dari Pengalaman Amerika

Konvensi politik adalah tradisi dalam politik Amerika yang unik. Tradisi yang tercantum dalam rumusan konstitusi AS ini sudah berjalan hampir 175 tahun. Konvensi berlangsung di dalam wadah partai politik untuk menghadapi ajang pemilihan pemerintah. Para founding fathers Amerika menelurkan konsep ini dengan beranjak dari kondisi ketidakpercayaan warga terhadap kinerja  partai politik. Namun, mereka berpandangan bahwa mustahil membangun suatu pemerintahan tanpa menggunakan instrumen partai politik.


Sebelum konvensi politik berkembang di AS pada tahun 1830, para kandidat partai politik dipilih melalui kebijakan informal dari pihak delegasi wilayah. Dalam praktiknya, ternyata mekanisme pendelegasian itu banyak memunculkan manipulasi dan kecurangan. Konvensi diperkenalkan sebagai alternatif atas praktik pembajakan demokrasi tersebut, dengan tujuan menghapus penyalahgunaan aspirasi oleh para delegasi wilayah. Desakan untuk menyelenggarakan konvensi yang pada waktu itu merupakan mekanisme baru juga datang dari para pemilih. Mereka mengharapkan adanya sistem terbuka agar bisa ikut berpartisipasi, serta menghindari praktik politik uang. 

Dalam pelaksanaannya, memang proses politik korup yang lahir dari oligarki partai di beberapa negara bagian juga segera runtuh dengan sistem konvensi ini. Mekanisme konvensi ini selayaknya menghadirkan kembali model demokrasi langsung ala Athena ke dalam Tribun Romawi yang didominasi para elite. Dalam tata kelola kepartaian, sistem ini pun terbukti mampu berguna untuk mengefektifkan struktur partai yang ada. Perluasan aktor yang terlibat dalam menentukan keputusan dalam pencalonan secara otomatis mengkondisikan aparatur partai politik untuk bekerja lebih ekstra dalam menjalin komunikasi politik dengan para konstituen mau pun kepengurusan di level yang lebih bawah. 

Dalam pengalaman Amerika Serikat, konvensi adalah media demokratisasi internal partai yang secara khusus diadakan menjelang pemilu presiden. Konvensi ditempuh sebagai sarana untuk mencalonkan seseorang sebagai calon presiden berbasis keputusan konstituen. Konstituen bisa secara langsung menyalurkan aspirasi mereka, sehingga calon presiden yang mereka inginkan bisa berkontestasi di internal partai secara terbuka. Konvensi menjadi media untuk menjawab kerisauan tentang siapa yang akan menjadi calon melalui partai mereka. 

Praktek konvensi politik tidak hanya sebatas mencari nominasi calon saja. Lebih dari itu, anggota dan pengurus partai memiliki kesempatan untuk berkumpul dan mendiskusikan platform partai. Platform merupakan sikap partai politik terhadap isu-isu harian. Untuk waktu yang lama, konvensi menjadi tempat perdebatan politik dan pengambilan keputusan penting. Sebagai contoh, pada tahun 1860, di internal Partai Demokrat terjadi perdebatan tentang hak untuk menghapuskan perbudakan. Beberapa perwakilan dari negara bagian selatan melakukan boikot, sehingga memunculkan senator Edward Kennedy yang berjuang melawan Jimmy Carter. Carter akhirnya dikalahkan Kennedy untuk pencalonan.

Dalam beberapa tahun terakhir, pembukaan kampanye oleh calon sebelum konvensi nasional telah membantu pemilih untuk mengevaluasi secara kritis para kandidat. Peran besar media mempromosikan mereka pada pre-convention juga membantu menjelaskan masalah-masalah khusus bagi pemilih. Jajak pendapat dari opini publik dan elektibitas para calon menggambarkan kondisi pemilih yang akan menggunakan hak mereka.

Pengalaman Konvensi di Indonesia

Pada satu ruas pengalaman dalam negeri, mekanisme konvensi pernah dipraktikkan partai Golkar. Mekanisme itu digelar untuk menentukan calon presiden yang akan diusung pada Pemilu tahun 2004. Hal itu merupakan lompatan besar yang digagas Surya Paloh selaku Ketua Dewan Pembina Partai Golkar saat itu. Prosedur ini telah menjungkirbalikkan kelaziman mekanisme yang ada dalam tubuh partai sebelumnya. Meski belum sempurna dan agak berbeda dengan konvensi ala Amerika, namun mekanisme konvensi yang pernah dilakukan Golkar patut diapresiasi dan harus diwacanakan selalu dalam upaya demokratisasi dan regenerasi politik Indonesia. 

Terpilihnya Wiranto yang bukan Ketua Umum Golkar waktu itu, mencerminkan adanya demistifikasi terhadap ”penguasa” partai  yang biasa dilekatkan pada sosok ketua partai, dan dianggap akan otomatis menjadi calon presiden. Suara dari bawah diakomodir, meski hanya pada level anggota partai. Inilah momentum penting perjalanan politik dan kepemimpinan nasional yang pernah terjadi di Indonesia. Sayang, pada masa kepemimpinan Jusuf Kalla mekanisme ini ditiadakan.

Mekanisme konvensi setidaknya memiliki dua dampak sekaligus bagi iklim politik Indonesia. Yang pertama, menghambat berkembangnya politik-dinasti. Kedua, ia akan merajut keterputusan politik (delinking) antara partai politik dengan konstituennya seperti yang terjadi selama ini. Lagi-lagi, hal itu tidak lepas dari kultur politik kapling yang ”jamak” terjadi dalam partai-partai politik kita. Mekanisme konvensi pada dasarnya adalah meletakkan kekuasaan politik secara langsung di tangan warga negara.
Direktur Eksekutif Populis Institute
Terbitan Referensi Edisi VI 

Tidak ada komentar: