Kamis, 29 September 2011

Masihkah Sapta Marga, Tak Lapuk di Hujan, Tak Lekang di Panas?

Willy Aditya

Sebagaimana diketahui, Tentara Nasional Indonesia (TNI) memiliki keunikan yang dikenal sebagai Dwi Fungsi. Dwi Fungsi ini memberikan landasan bagi TNI untuk berperan di segala bidang sosial dan politik negara, sehingga menjadikan TNI bukan semata tentara profesional. Sebagaimana dicetuskan AH Nasution, konsep Dwi Fungsi TNI ini dicanangkan ketika TNI gamang melihat situasi politik Indonesia yang dikendalikan oleh sipil pada pertengahan 1950-an ketika Indonesia menganut sistem demokrasi parlementer. Melalui seruan kembali ke UUD 1945, Nasution memberikan titik landasan bagi peran sosial-politik TNI.

Namun, ketika gerakan Reformasi Mei 1998 datang, peran sosial-politik TNI ini digugat. TNI yang dianggap sebagai salah satu pilar Orde Baru dituduh mempunyai banyak kontribusi dalam berbagai kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Reformasi TNI didengung-dengungkan, dengan poin kritik pada Dwi Fungsi TNI. TNI pun berbenah diri. Sejumlah elit TNI secara terbuka menyatakan keinginan untuk melakukan reformasi TNI.

Dari luar TNI, elit-elit sipil yang duduk di parlemen melakukan pembenahan struktur kenegaraan. Melalui amandemen konstitusi, secara perlahan-lahan, kekuasaan sosial politik TNI dipreteli. Jatah kursi di parlemen melalui utusan golongan dihilangkan secara bertahap melalui dua kali Pemilu. Komnas HAM diberi kesempatan untuk menyelidiki berbagai pelanggaran HAM yang diduga dilakukan elit-elit TNI, meski tak pernah terbukti. Kepolisian Republik Indonesia dikeluarkan dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), sebuah institusi yang dulu dibangun bersama TNI. Perwira-perwira TNI yang ingin menduduki kursi kepala daerah pun diwajibkan meletakkan senjata, pensiun sebagai anggota TNI. Kekuasaan sosial-politik TNI berhasil ditanggalkan satu demi satu.


Bisnis TNI juga tak luput dari gelombang demokratisasi. Di era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, bisnis TNI yang menggurita di berbagai bidang berusaha diinventarisasi dan dikonsolidasikan untuk diserahkan pada negara. Berdasarkan inventarisasi Mabes TNI, setidaknya ada 219 usaha milik TNI yang terdiri dari 25 buah yayasan dan 194 koperasi. Jumlah tersebut tentu hanya bisnis TNI yang bersifat resmi dan legal sementara bisnis-bisnis lainnya seperti pengamanan terhadap industri minyak, pertambangan atau bahkan tempat-tempat hiburan belum dihitung.

Perubahan-perubahan struktur kenegaraan dan sistem politik ini juga membuat TNI melakukan pembenahan ke dalam. Salah satunya adalah perubahan doktrin TNI dari Cadek ke Tridek. Dalam doktrin baru ini, TNI melepaskan Dwi Fungsinya. TNI dengan rendah hati menjadi tentara profesional yang melakukan tugas pertahanan negara, namun bisa sewaktu-waktu melakukan tugas keamanan negara bersama pemerintah. TNI pun menasbihkan diri sebagai penjaga demokrasi, menjadi alat di bidang pertahanan sebagaimana kebijakan dan keputusan politik negara.

Namun ada satu hal yang tak berubah, yakni Sapta Marga. Sapta Marga tak pernah berubah sejak pertama kali TNI didirikan dalam bentuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Ali Moertopo menyatakan Sapta Marga merupakan pedoman pokok ABRI untuk melaksanakan tugasnya, baik sebagai warga negara maupun sebagai prajurit. Dalam Catur Darma Eka Karma (Doktrin Hankamnas dan Doktrin Perjuangan ABRI), Sapta Marga ini merupakan kode etik ABRI. Dengan Sapta Marga ini, para prajurit merupakan bagian dari masyarakat Indonesia. Dengan Sapta Marga yang meletakkan ABRI sebagai bagian yang tidak terpisahkan dengan masyarakat inilah dilahirkan Doktrin Kekaryaan ABRI yang disebut sebagai Doktrin Perjuangan ABRI. Doktrin ini pada dasarnya merupakan perwujudan dari keterlibatan ABRI terhadap Pancasila dan UUD 1945, dan melalui Golongan Karya peranan kekaryaan ABRI diselenggarakan bersama-sama dengan kekuatan sosial-politik lainnya yang mempunyai cita-cita dan semangat yang sama, baik dalam kenegaraan maupun kemasyarakatan. Dalam doktrin ini, tugas pokok ABRI sebagai Golongan Karya dirumuskan “secara aktif ikut serta dalam segala usaha kegiatan rakyat serta negara di bidang-bidang politik, ekonomi dan sosial”, untuk melaksanakan cita-cita proklamasi. Doktrin Kekaryaan ini selanjutnya melahirkan konsep Dwifungsi ABRI yang memberikan dasar bagi ABRI untuk memasuki wilayah-wilayah sosial-politik dan ekonomi di luar pertahanan keamanan.

Sapta Marga yang bertahan tanpa perubahan ini tak sesuai lagi dengan perkembangan kekinian Indonesia. Value (nilai) yang ada dalam UUD 1945 hasil amandemen yang kemudian disebut UUD 1945 Dalam Satu Naskah, beserta segenap perubahan-perubahan derivatifnya, telah membuat Sapta Marga terutama pada poin “Taat kepada atasan dengan tidak membantah perintah atau putusan” menjadi tidak relevan. Berdasarkan UUD hasil amandemen, kepatuhan prajurit TNI adalah pada dasar negara, UUD dan hukum. Perintah atasan yang bersifat illegal order (tidak sesuai dengan UUD dan hukum), menjadi tidak wajib untuk ditaati prajurit.

Tentu tidak mudah membuat perubahan paradigma ini. Pada kasus pembunuhan Theys Hiyo Eluay pada tahun 2001 oleh sejumlah personel Kopassus, tampak kegagapan TNI menghadapi situasi baru. Walaupun banyak pihak menyatakan bahwa yang terjadi adalah pelanggaran HAM berat, tetapi bagi TNI, tujuh perwira Kopassus yang membunuh Theys merupakan pahlawan. Hal tersebut bahkan mengemuka dalam pernyataan yang diberikan oleh Ryamizard Ryacudu. Menurut Ryamizard, hukum boleh mengatakan bahwa anggota Kopassus yang melakukan pembunuhan tersebut bersalah tetapi baginya mereka adalah pahlawan. Alasan yang mengemuka dari Ryamizard selaku KSAD saat itu, karena yang dibunuh adalah kepala pemberontak yang hendak memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Menjadi persoalan karena terbunuhnya Theys tidak pada masa berperang atau dalam kondisi kontak senjata. Fakta demikian yang membuat pembunuhan tetap pembunuhan dan harus diselesaikan dalam kerangka hukum dan HAM. Alasan bahwa Theys adalah kepala pemberontak yang hendak memisahkan diri dari NKRI tidak bisa menjadi pembenar terjadinya pembunuhan atau bahkan mengangkat pembunuhnya sebagai ‘pahlawan’.

Juga ada insiden Forum Purnawiran TNI/Polri yang menolak dipanggil Komnas HAM terkait berbagai dugaan pelanggaran HAM yang melibatkan elit-elit TNI. Penolakan mereka dapat dikatakan sebuah kemunduran dari usaha mereformasi TNI. Penolakan mereka menandakan masih kuatnya keinginan meletakkan TNI berada di atas hukum, padahal UUD 1945 Dalam Satu Naskah pada Pasal 1 secara tegas menyebutkan Indonesia sebagai negara hukum.

Secara nilai hal tersebut tidak seharusnya terjadi karena pertama-tama sebagai bagian dari NKRI, TNI harus mengutamakan perlindungan terhadap warganya terlebih dahulu. Jelas ini sangat bertentangan dengan UUD 1945 atau Demokrasi. Dengan demikian dapat dilihat bahwa ternyata tindakan/aktivitas TNI dalam menjalankan tugasnya tidak sesuai dengan nilai yang ada dalam UUD 1945, Pancasila dan Demokrasi. Artinya ada ketidakselarasan antara nilai (value) negara, yang ada di UUD 1945, Pancasila dan Demokrasi, dengan tindakan yang dilakukan TNI dalam tugasnya (virtue).

Jakarta, Oktober 2008

Tidak ada komentar: