Kamis, 29 September 2011

Medan Tempur Calon Independen


Willy Aditya

"Salam demokrasi. Hidup demokrasi. Rebut demokrasi." Pekik itu masih bergema dalam barisan aksi massa, ruang pertemuan, juga dalam artikel-artikel. Teriakan itu dulu memerahkan muka rezim otoriter Orde Baru. Ada banyak pertanyaan di benak tentang makna teriakan dan semangat itu. Indonesia setelah kejatuhan Soeharto memasuki demokrasi prosedural, pemilu multipartai, dan paling anyar dibukanya ruang pertarungan bagi calon independen.

Hampir 10 tahun 'reformasi' berjalan di Indonesia, tidak seorang pun mampu menolak demokrasi sebagai konsesi bersama dalam bermasyarakat dan bernegara. Tidak dari kalangan konservatif seperti TNI, Birokrasi dan Golkar, tidak pula dari kalangan Islam, dan juga kalangan kiri. Disadari atau tidak, demokrasi telah hadir menjadi bagian keseharian, terlepas kehadirannya dalam ekspresi dan pelembagaan yang beragam.

Dulu semua kelompok berjuang untuk demokrasi. Namun, setelah demokrasi hadir, tiap kelompok memilih taktik dan strategi yang berbeda untuk mengisi ruang tersebut. Ada yang mendirikan partai politik sebagai pilar demokrasi untuk bertarung berebut kekuasaan, mendirikan LSM untuk memperkuat civil society dengan pendidikan pada masyarakat, dan tak sedikit yang bertahan dengan aksi jalanan sebagai ekspresi demokrasi langsung.


"Demokrasi" yang telah lama kita teriakkan bukanlah suatu ruang kosong yang bekerja secara metafisis dan mekanis, melainkan medan peperangan ideologi di antara kepentingan kelompok masyarakat, aliran politik, sekaligus kelas sosial. Demokrasi prosedural bekerja memberikan mekanisme atau role of engagement untuk berkontestasi, namun tak ada garansi kemenangan untuk pastisipasi warga negara dan keadilan sosial.

Kekeliruan dalam tafsir dan ketidakmampuan dalam medan tempur demokrasi telah mengerdilkan makna perjuangan aktor-aktornya sendiri. Umpatan dan caci maki seperti "oligarki partai politik" dan "demokrasi telah dibajak para elite" secara tidak langsung mewakili kebuntuan, kelelahan, dan kekaburan kaum demokrat yang idealis dan utopis dalam membaca gerak sejarah.

Demokrasi macam apa dan untuk siapa yang sedang kita bangun dan perjuangkan? Demokrasi bekerja selayaknya hukum dan relasi kekuasaan bekerja. Di tangan para pemodal, demokrasi menjadi srigala berbulu domba yang menyembah pada kepentingan kelas dominan. Di tangan intelektual, demokrasi menjadi gerombolan aristokrat yang memiliki pembenaran dengan seribu alasan. Di tangan kaum sosialis, demokrasi menjadi spirit partisipasi massa dan keadilan sosial.

Kembali pada realitas Indonesia kekinian, dibukanya kesempatan bagi calon independen dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) merupakan kemenangan kecil demokrasi. Setelah agenda tersebut diperjuangkan kaum sosial demokrasi dan menang, pertanyaan berikutnya bagaimana keterbukaan ruang calon independen bisa diisi dengan kehadiran demokrasi sosial (gerakan massa) untuk bertarung dalam ajang demokrasi liberal? Kedua, bagaimana secara kontinu dan sistematis melancarkan war of position pada kalangan politisi busuk, tukang pakang, dan birokrat korup. Belajar dari persoalan Pemilu 1999 dan 2004, klaim kemenangan gerakan sosial tidak bisa dilipatgandakan menjadi hegemoni terhadap masyarakat secara luas, justru terinterupsi karena kekeliruan dalam pilihan strategi dan taktik menolak pemilu dan mengingkari kesadaran masyarakat untuk ikut dalam euforia pemilu multi partai.

Tentu tidak sederhana untuk bisa bertarung dan menang dalam demokrasi liberal bila langgam kerja gerakan sosial di Indonesia masih monoton dan tradisonal tanpa memperbarui strategi dan taktik dalam kalangan sendiri. Beberapa pengalaman Dewan Perwakilan Daerah (DPD) terdahulu merupakan pelajaran berharga sebagai senjata awal seperti Musfani di Bengkulu. Ukuran kemenangan DPD berbeda dari calon independen dalam pilkada di mana kontestasi berada pada wilayah kekuasaan konkret. Kemenangan kecil gerakan sosial di Bengkulu tidak pada tahap lanjut juga berhadapan dengan lika-liku sistem perpolitikan Indonesia. Otoritas Dewan Perwakilan Daerah yang masih menggantung dan tidak imbang bila dibandingkan dengan Dewan Perwakilan Rakyat melalui mekanisme partai menjadi persoalan khusus dalam sistem bicameral di Indonesia.

Merujuk pada perbandingan, praktik demokrasi di Filipina dalam kasus ini Akbayan hadir sebagai alternatif kebuntuan gerakan sosial menjawab hukum sejarah dan demokrasi liberal yang mengukuhkan hegemoni para pemodal besar. Akbayan mampu menggabungkan gerakan sosial dan strategi elektoral dan sejauh ini sudah memenangkan 300 anggota parlemen lokal dan 50 dari 2.500 bupati melalui pemilu di tingkat distrik (level kabupaten). Walaupun dalam perbandingan jumlah belum signifikan, Akbayan hadir sebagai alternatif partai yang menjawab partipasi massa secara langsung.

Demokrasi di tangan kaum liberal memiliki kecendrungan mengeliminasi partisipasi rakyat dalam pertarungan ekonomi politik, melahirkan corak kepartaian elitis - pragmatis, dan tidak memiliki program ideologi - politik sebagai pertaruhan arah peradaban bangsa dan masyarakat. Ketersedian medan tempur calon independen harus ditindaklanjuti dengan kehadiran partai lokal sebagai peserta pilkada dan antitesa terhadap rasionalisasi kepartaian di level nasional. Indonesia dalam masa 1950 – 1959 dalam praktek konstituante pernah menerapkan sistem perpolitikan yang memberikan ruang kontestasi partai politik lokal dalam pemilu lokal. Catatan penting dalam demokrasi prosedural seperti sekarang, praktek tersebut bukanlah tanpa alas sejarah di Republik Indonesia.

Terjebaknya penggiat LSM dan Organisasi Massa ke arah demokrat utopis, selama ini lebih merepresentasikan ketidakmampuan dalam pertanggungjawaban antara agenda kampanye atas dan eksekusi lapangan untuk bertarung menuju kemenangan. Jika merekam jejak sejarahnya, calon independen diusung pertama kali di Jakarta oleh Urban Poor Consortium (UPC) yang berdiri sebagai representasi kaum miskin perkotaan. Di saat bersamaan Forum Betawi Rempug (FBR) juga mengusung isu yang sama. Hal itu kemudian mengusik eksistensi kaum demokrat utopis di Indonesia dan memunculkan pertanyaan "apakah UPC sama dengan FBR?".

Kontestasi dalam demokrasi liberal membuka ruang luas untuk setiap kepentingan dengan alur pikir inti bahwa konsolidasi modal terbesarlah yang akan mengibarkan bendera kemenangan di akhir pertempuran. Praktek money politic dalam pemilu terjadi jamak di seluruh dunia dan secara transparan Amerika Serikat menjadi rujukan utama dalam setiap pemilihan presiden. Berangkat dari alur pikir demokrasi liberal, maka kaji ulang terhadap kelengkapan source of power seperti figur (symbol), organisasi (networking), dan logistik (uang) menjadi prasyarakat pokok bagi gerakan sosial di Indonesia. Realitas dominan dalam demokrasi liberal melakukan fragmentasi terhadap unsur-unsur seperti ideologi, politik, dan organisasi yang bernama bangunan civil society.

Budiman Sudjatmiko dalam tesis-nya memaparkan bagaimana tipologi pertarungan politik dalam ajang pemilu di Indonesia masih mengandalkan politik uang, relasi patron, dan sentimen (populisme) massa pemilih. Tradisi berpolitik yang programatik dan ideologis tentu saja langka di medan pertempuran demokrasi liberal. Pekerjaan besar gerakan sosial adalah sejauh mana alternatif yang ditawarkan mampu mengantitesa tradisi berpolitik tersebut?

Medan pertempuran pemilu plus calon independen merupakan pilihan realistis menuju demokrasi partisipatoris dan keadilan sosial sekaligus pemantik memori masyarakat tentang keberadaan partai politik lokal. Sekaranglah saatnya bagi gerakan sosial untuk mengubah view point, metode, dan praktek-nya tanpa harus kehilangan warna asli ideologi. Persenyawaan di antara unsur ideologi, politik, dan organisasi adalah suatu keniscayaan yang tidak bisa diecer atau dikreditkan. Bukan pula bersuci diri atau membasuh tangan karena politik diberaki oleh politik dagang sapi dan menunggu partai-partai bersih dari para pedagang, koruptor, dan pembajak. (*)
Kamis, 08 November 2007

Tidak ada komentar: