Kamis, 29 September 2011

Panggilan Wajib Militer

Willy Aditya*)

Akhir-akhir ini media massa dan panggung politik nasional kembali dihangatkan wacana wajib militer. Alasan wajib militer berangkat dari RUU Komponen Cadangan Strategis yang merujuk pada Undang-Undang Pertahanan Nomor 3 tahun 2002 tentang Pertahanan Nasional bahwa dalam menghadapi ancaman ditempatkan TNI sebagai komponen utama, selanjutnya komponen cadangan dan pendukung.

Perseteruan Realisme dan Utopia

Hampir semua doktrin pertahanan negara mencantumkan tanggung jawab setiap warga negara secara politis ataupun moral untuk berkontribusi mempertahankan eksistensi negara terhadap ancaman (invasi) dari luar. Wajib militer dalam pengertian sederhana dapat dipandang sebagai pelibatan warga negara sipil ke dalam organisasi kemiliteran atas dasar menjalankan tugas-tugas kenegaraan dalam bentuk mobilisasi. Dalam perspektif keamanan tradisonal, yang menggunakan konsep sistem pertahanan rakyat semesta (total war), wajib militer merupakan prasyarat tak terhindarkan. Asumsi ini dengan alasan bahwa pertahanan semesta memfungsikan semua komponen bangsa sebagai alat pertahanan.

Argumentasi utama diberlakukan wajib militer adalah situasi perang atau ancaman perang terhadap eksistensi negara dari luar. Alasan ancaman perang oleh negara seperti Iran karena potensi negara tetangga terhadap kondisi keamanan negara. Di samping itu status perang yang diumumkan oleh negara juga diterapkan oleh negara-negara seperti Korea Selatan dan Israel. Penerapan wajib militer bagi negara dalam ancaman perang dan status perang dilakukan berdasarkan kebutuhan (temporary). Sementara permanen wajib militer diterapkan oleh negara-negara dengan jumlah penduduk yang terbatas secara reguler. Keterbatasan jumlah militer aktif menjadi alasan utama untuk membekali semua warga negara memiliki kemampuan pertahanan negara. Konsepsi ini diterapkan di negara seperti Singapura, Swiss, dan Eropa lainnya. Wajib militer di negara-negara ini memiliki payung hukum legal dan ketentuan khusus seperti usia, pekerjaan, prosedur perekrutan, dan masa dinas.



Militer dalam konsep politik Yunani kuno ditempatkan dalam ranah privata yang diasosiasikan sebagai sesuatu yang “tidak mulia atau kotor” dan tidak memiliki otoritas apa pun kecuali berperang. Wajib militer sering kali dipandang sebagai intervensi resprivata ke dalam respublica di mana terjadi pengaburan batasan antara warga negara berseragam dan warga negara sipil.

Apakah wajib militer bertentangan dengan semangat demokrasi yang dijalankan Indonesia sekarang? Pertanyaan ini tentu membutuhkan jawaban kritis. Secara konsepsi demokrasi menuntut partisipasi aktif warga negara tanpa diskriminasi terhadap jenis kelamin, suku, dan ras, serta persamaan hak untuk membela negara. Di beberapa negara demokrasi wajib militer juga memiliki payung hukum sebagai sumber daya pertahanan negara dalam menghadapi ancaman dan situasi perang.

Di kalangan penentang wajib militer berangkat dari argumentasi filosofis kemanusiaan tentang semangat antikekerasaan dalam penyelesaian konflik (nonviolence action) dan seruan moral agama tentang “larangan membunuh sesama”. Gerakan menolak pelibatan warga sipil untuk memanggul senjata marak di negara-negara Eropa Barat setelah Perang Dingin dan mencapai kemenangan hukum untuk mencabut hak pelibatan warga masyarakat sipil wajib militer. Gerakan menolak dengan hati nurani (Conscientious objectors) merepresentasikan semangat hak asasi manusia yang menentang pendekatan konflik bersenjata.

Modernisasi Konflik dan Ancaman

Menilik alasan beberapa negara yang mengakhiri wajib militer tidak terlepas dari berkurangnya ancaman atau dihilangkan status perang di suatu kawasan. Realitas ini terjadi di negara-negara Euro-Atlantik setelah Perang Dingin. Negara-negara Euro-Atlantik melakukan perubahan postur pertahanan yang ditandai dengan penyusutan jumlah pasukan dan mempromosikan peace dividend sebagai jalan keluar dari konflik dan ketegangan antarnegara. Transformasi kemiliteran berimplikasi terhadap fungsi wajib militer bagi negara-negara Euro-Atlantik yang lebih banyak bertujuan membawa misi perdamaian di daerah pasca-konflik. Modernisasi konflik pun menuntut militer dilengkapi dengan keterampilan yang lebih civilian seperti negosiasi dan layanan kesehatan.

Setelah Perang Dingin, konsep militer profesional menjadi wacana dominan dengan penggabungan keterampilan tempur militer, manajemen yang efektif dan efesien, serta dukungan peralatan high tech. Revolution Military Affair secara gradual mengikis keterlibatan sukarelawan wajib militer karena alasan lamanya masa dinas seorang prajurit dan lebih mengutamakan tenaga profesional.

Simpangan Beban Sejarah dan Transformasi Militer

Selama 30 tahun kekuasaan Orde Baru menempatkan institusi militer sebagai bangunan yang integralistik. Dalam negara integralistik sulit membedakan militer sebagai pendukung kekuasaan dan militer sebagai alat negara yang melindungi semua komponen bangsa. Penyelewengan kekuasaan terhadap warga sipil yang berseragam juga terjadi terhadap organisasi seperti kamra, hansip, bahkan satpam. Trauma militerisme di masa lalu berhimpitan dengan pemahaman militer sebagai alat negara di era demokrasi. Jika dalam pemerintahan otoriter militer menjadi aktor dominan dalam penyelewengan kekuasaan, maka realitas ini berbeda dari pengalaman negara-negara demokratik, di mana penyelewengan kekuasaan justru dilakukan oleh aktor-aktor sipil sendiri seperti polisi, imigrasi, dan kejaksaan.

Dalam sistem politik demokrasi, wajib militer, memiliki suatu dorongan secara gradual untuk mengikis konsepsi militer yang integralistik. Otoritas pengerahan pasukan utama dan cadangan secara mutlak menjadi keputusan politik kekuasaan sipil yang dipilih melalui pemilu. Dengan jumlah penduduk 240 juta jiwa, wajib militer di Indonesia tentu tidak diterapkan secara reguler, namun diterapkan berdasarkan kebutuhan (temporary) dalam situasi yang akan mengancam eksistensi negara dari luar.

Wacana wajib latihan militer selayaknya diletakkan seiring dengan transformasi TNI sebagai alat demokrasi. Wajib militer di masa demokrasi menjadi efektif untuk memangkas kelebihan perekrutan reguler di internal TNI. Proses ini akan berimplikasi untuk mengurangi perekrutan tentara baru dan diganti dengan wajib militer. Jika langkah ini bisa ditempuh, wajib militer menjadi efisien dalam menata ulang postur pertahanan negara. Sebab, menurut sumber di Dephan selama ini TNI membutuhkan biaya sekurangnya Rp 40 juta untuk merekrut satu orang personel.

Kekhawatiran masyarakat sipil akan penyalahgunaan wajib militer tampaknya perlu dijawab. Kekhawatiran tersebut harus dikanalkan ke dalam penguatan otoritas politik sipil atas militer melalui mekanisme pengawasan dan kontrol. Keunggulan sistem politik demokrasi adalah kekuasaan otoritas politik sipil dalam mengatur dan memutuskan hal-hal yang berkaitan dengan wajib militer, anggaran, sistem persenjataan, pengerahan pasukan, dan aset militer. Dengan peningkatan militer profesional di TNI, secara otomatis juga berimplikasi pada peningkatan kesejahteraan di kalangan militer. Kesejahteraan prajurit TNI bisa menjadi alat yang efektif untuk memangkas bisnis TNI dan mendorong TNI lebih profesional. Sebab, untuk membangun militer profesional, TNI harus meninggalkan bisnis mereka. TNI tidak boleh mencari uang dari luar anggaran negara.

Wajib militer di Indonesia merupakan suatu pilihan realis terhadap kondisi pertahanan negara. Persoalan hak asasi manusia haruslah menjadi pasal khusus dalam bentuk Conscientious objectors (CO) yang di beberapa negara memiliki legislasi dalam keadaan apa saja warganegara yang dipanggil untuk wajib militer dapat bebas dari kewajiban tersebut.

*) Willy Aditya, mahasiswa program master Defence and Security Study Cranfield University UK dan ITB Bandung.
Jumat, 16 November 2007

Tidak ada komentar: