Kamis, 29 September 2011

Reshuffle Suka-suka

Willy Aditya
Media Indonesia 09 Maret 2011

Ramai perbincangan reshuffle kembali mengemuka minggu-minggu terakhir ini. hal itu dipicu oleh pandangan bahwa pemerintahan SBY tidak mewujudkan orientasinya karena kabinet tidak berfungsi efektif. Pendulum wacana mengarah pada argumen bahwa konsekuensi ketidakefektifan atau kegagalan pemerintah dibebankan pada level menteri, bukan presiden. Dengan kata lain, bahwa menteri lah yang harus bertanggung jawab atas ketidakefektifan kinerja pemerintah, bukan presiden.

Hal itu beranjak dari dikotomi sistem pemerintahan parlementer dan presidensial. Mekanisme impeachment hanya dikenal dalam sistem parlementer, di mana parlemen mewakilkan amanat kekuasaan pada seorang wakil dari partai berkuasa atau koalisi, dan menunjuknya sebagai perdana menteri. Sementara dalam sistem presidensial, presiden dipilih langsung oleh rakyat melalui Pemilihan Umum (Pemilu), dan hanya bisa diberhentikan melalui mekanisme Pemilu berikutnya.

Dalam kerangka sistem pemerintahan presidensial itu juga, seorang presiden memiliki kewenangan luas untuk menyusun kabinet yang akan mendukung kinerjanya selama satu periode pemerintahan. Dengan kata lain, presiden memiliki kekuasaan untuk memilih, memberhentikan atau mengganti jajaran menteri yang duduk di dalam kabinetnya. Maka, tidak mengherankan jika isu-isu tentang pergantian menteri selalu menyeruak, khususnya setiap ruas tahun dalam periode pemerintahan berjalan.


Yang menjadi pertanyaan, atas dasar SBY memilih, memberhentikan, memindah tugas, atau memberhentikan seorang menteri? Secara sederhana, hal itu bisa dijawab dengan kata kunci prerogatif presiden. Tapi untuk tujuan bernegara yang lebih baik, jawaban itu tidak cukup. Presiden bukan seorang kaisar yang berkuasa penuh dan tidak memerlukan kontrol dari luar. Dalam kerangka ini lah kita memerlukan mekanisme yang bisa mengukur secara gamblang kapasitas kinerja menteri dalam pemerintahan.

Basis Kinerja Pemerintahan Demokratis
Keberadaan alat ukur sebagai instrumen kontrol kinerja pemerintahan bukan hal baru bagi negara demokrasi. Bahkan di Amerika Serikat, hampir setiap rezim menelurkan mekanisme dan perangkat tersendiri. Bermula dari inisiatif merapikan sistem anggaran, perangkat penilai program pemerintahan telah berkembang jauh hingga rezim pemerintahan Obama saat ini, yang juga tengah mempertimbangkan alat ukur baru bagi proses pelaksanaan pemerintahan yang lebih efektif (Jay Kiedrowski, 2009).

Pengalaman menyusun alat ukur kinerja pemerintahan Amerika Serikat dimulai dari penyusunan model penganggaran, sebagai instrumen penyediaan dana untuk alokasi program. Model penganggaran di AS dimulai pada tahun 1949, yang dilontarkan komisi Hoover untuk memperbaiki manajemen dan efisiensi anggaran negara. Model awal ini memulai penetrasi profesional keilmuan, khususnya bidang akuntansi ke ranah administrasi pemerintahan. Berikutnya, pada era pemerintahan Johnson tahun 1960 an, ditelurkan model Planning Programming and Budgetting System (PPBS), beranjak dari ketidakpuasan atas model anggaran tradisional berbasis item, dan dialihkan pada model penganggaran berbasis kinerja.
Pada tahun 1971 di bawah pemerintahan Nixon, PPBS diganti model Management by Objectives (MBOs), yang menekankan pada tujuan kuantitatif untuk memenuhi ketentuan administratif. Pemerintahan Presiden Carter pada akhir tahun 1970 an, mulai memperkenalkan pendekatan baru Zero-Based Budgeting (ZBB) yang menekankan perbandingan antara biaya dengan manfaat belanja program. Pada periode ini lah, alat ukur untuk manfaat program mulai menjadi hal penting.

ZBB mulai ditolak oleh Kantor Manajemen Anggaran (Office of Management and Budgeting /OMB) pemerintahan Reagan pada musim semi 1981. Meski pun begitu, salah satu unsur pentingnya tetap digunakan, yaitu penetapan prioritas program. Inisiatif Reagan tersebut dilanjutkan oleh kepemimpinan Bush Sr dengan menambahkan unsur baru, yaitu ukuran produktivitas.

Perkembangan signifikan berikutnya terjadi pada pemerintahan Clinton, yang bersama Kongres melakukan reformasi pendekatan terhadap ukuran kinerja, dan menghasilkan undang-undang bernama Government Performance and Result Act (GPRA) atau Undang-undang Kinerja dan Hasil Pemerintah yang ditetapkan tahun 1993. Pendekatan ini bergeser dari akuntabilitas proses menjadi akuntabilitas hasil. GPRA mengatur dan mengontrol pengeluaran negara secara ketat, dan mempertanyakan capaian riil terkait besaran belanja. Untuk menjalankannya, GPRA juga dilengkapi perangkat ukur kinerja, yang disebut National Performance Review (NPR), dengan kunci pendekatan pada korelasi keputusan dana terhadap kinerja program, atau antara pendanaan dengan pencapaian layanan.

Pada periode Bush Jr, GPRA dinyatakan terlalu rumit untuk menyusun anggaran program, sehingga pada tahun 2002 diterapkan perangkat baru Program Assessment Rating Tool (PART). Instrument ini digunakan untuk mengevaluasi secara formal efektivitas program federal dengan menetapkan rating terhadap instansi-instansi pemerintah. Penerapan PART terhadap program dikembangkan oleh Kantor Manajemen dan Anggaran (OMB) dengan mencakup yakni, tujuan dan desain, perencanaan strategis, manajemen program, dan hasilnya. Setiap instansi federal menyediakan materi rating untuk diberi skor oleh OMB.

Berbeda dengan GPRA yang menyediakan seluruh panduan tahunan, PART lebih menekankan pada perencanaan strategis. Hasil penilaian PART mengkategorikan program dalam empat peringkat: program yang efektif, moderat, cukup dan tidak efektif. Sebelumnya, model penilaian GPRA manghasilkan tiga kategori, yaitu program yang berhasil, kurang berhasil dan gagal. Saat ini, Obama tengah mempertimbangkan reformasi perangkat baru untuk memaksimalkan mekanisme kontrol sekaligus alat ukur kinerja pemerintahannya. Namun, pada periode berjalan, Obama masih menggunakan kerangka PART.

Kekosongan Instrumen dan Mentalitas Status Quo
Pengalaman AS dalam menerapkan mekanisme dan alat ukur kinerja pemerintahan bisa menjadi referensi bagi Indonesia. Satu hal perlu digarisbawahi, bahwa sebagai negara demokrasi, AS memiliki mekanisme dan instrument penilaian kinerja pemerintah yang lengkap, mulai dari ketentuan perencanaan hingga sistem evaluasi dan penilaiannya. Hal itu sangat berbeda jika dibandingkan kondisi dalam negeri, khususnya terkait mekanisme penilaian dan perombakan kabinet. Maka tidak heran jika setiap tahun terjadi huru-hara, khususnya terkait evaluasi kinerja pemerintah yang beririsan dengan resufle kabinet.

Persoalan itu tersirat dalam komentar Kuntoro Mangkusubroto selaku penanggung jawab evaluasi kinerja kabinet, yang menyatakan bahwa parameter evaluasi tidak harus disampaikan ke publik, karena menjadi rahasia presiden. Logika sederhananya, karena sistem presidensial menempatkan presiden sebagai pusat kekuasaan yang berwenang menentukan hitam-putihnya kabinet. Secara ringkas, dapat ditarik asumsi bahwa kondisi di atas tak lebih dari sindrom paranoid.
Di satu sisi, lembaga kepresidenan enggan membahas ukuran kinerja pemerintah karena mengarah pada impeachment. Di sisi lain, jajaran kabinet juga khawatir akan resuffle yang menjadi hak prerogatif presiden. Dan akhirnya, masing-masing lembaga saling curiga dan saling mengamankan posisi dan jabatannya.

Jika kita lihat lebih jernih, mekanisme dan alat ukur kinerja pemerintahan sudah menjadi kebutuhan, sehingga nuansa politis dan resistensi eksekutif tidak menjadi fenomena tahunan yang berlarut-larut. Dengan mekanisme dan alat ukur yang jelas, presiden tidak kehilangan hak prerogatifnya untuk menentukan kursi kabinet. Namun, hal itu juga meminimalisir tingkat kecurigaan dan konflik internal eksekutif, karena proses penilaian bukan dari faktor suka-suka presiden saja.

Dengan kondisi itu, kita bisa berbicara tentang konsekuensi hasil kinerja. Sebutlah secara umum penilaian kinerja dimasukkan dalam kriteria berhasil, kurang berhasil dan gagal. Kinerja program atau kabinet bisa ditentukan proporsi keberhasilannya, dengan menentukan berapa persen berhasil, kurang berhasil, dan gagal. Dengan model itu, tidak ada lagi konsekuensi yang tabu untuk dibicarakan. Konsekuensi harus dipikul menteri atau presiden, semua tergantung tingkat pencapaian kinerja.

Satu contoh kasus, seorang menteri yang menunjukkan capaian kinerja yang positif tentu tidak layak direshuffle. Sebaliknya, bagi yang menunjukkan kegagalan bahkan harus mengundurkan diri, tanpa menunggu keputusan direshufle. Di sisi lain, tidak tertutup kemungkinan bahwa konsekuensi penilaian juga menyentuh lembaga kepresidenan, seandainya tingkat kegagalan kinerja mencapai 70% misalnya. Maka, seorang pejabat publik harus rela mengundurkan diri ketika penilaian menunjukkan kriteria kegagalannya.

Namun, tentu saja hal itu membutuhkan proses dan sikap kenegarawanan dari semua pihak. Jika kita bandingkan dengan keadaan saat ini, tentu saja kematangan sikap bernegara itu masih jauh panggang dari api. Bukannya bersikap obyektif, justru masing-masing ingin unjuk gigi. Tak pelak para menteri pun mengeluarkan anggaran besar untuk mejeng di media sambil mengobral jasa-jasa departemen yang dipimpinnya. Tentu saja, semua itu disertai dengan polesan di sana-sini, sehingga iklan-iklan itu menutup fakta tentang tingginya angka kemiskinan, besarnya angka putus sekolah, banyaknya kekerasan terhadap TKW, dan segudang permasalan lain.

Tidak ada komentar: