Kamis, 29 September 2011

Wajib Militer dan Hak Warga Negara


Willy Aditya*)

“Partisipasi masyarakat sipil dalam pertahanan akan meringankan biaya
dan memperkuat Total Defense System,” Prof. Dr. Yahya A. Muhaimin.

Militer dalam pemikiran Yunani kuno diasosiasikan sebagai sesuatu yang “tidak mulia atau kotor” dan tidak memiliki otoritas apa pun kecuali berperang. Wajib militer sering kali dipandang sebagai intervensi res privata ke dalam res publica di mana terjadi pengaburan batasan antara warga negara berseragam dan warga negara sipil.

Apakah wajib militer bertentangan dengan semangat demokrasi? Secara konsepsi demokrasi mensyaratkan partisipasi aktif warga negara tanpa diskriminasi terhadap jenis kelamin, suku, dan ras, serta persamaan hak untuk membela negara. Di beberapa negara demokrasi wajib militer juga memiliki payung hukum sebagai sumber daya pertahanan negara dalam menghadapi ancaman dan situasi perang.

Hampir semua doktrin pertahanan negara mencantumkan tanggung jawab setiap warga negara secara politis ataupun moral untuk berkontribusi mempertahankan eksistensi negara terhadap ancaman (invasi) dari luar. Wajib militer dalam pengertian sederhana dapat dipandang sebagai pelibatan warga negara sipil ke dalam organisasi kemiliteran atas dasar menjalankan tugas-tugas kenegaraan dalam bentuk mobilisasi. Dalam perspektif keamanan tradisonal, yang menggunakan konsep sistem pertahanan rakyat semesta (Total Defence System), wajib militer merupakan prasyarat tak terhindarkan. Asumsi ini dengan alasan bahwa pertahanan semesta memfungsikan semua komponen bangsa sebagai alat pertahanan.


Wajib militer dikenal dengan istilah compulsory military service. Istilah ini dipakai di Singapura, Iran, dan Amerika Serikat. Dalam mengelola cadangan strategis, Indonesia tertinggal oleh dua negara tetangga, Malaysia dan Singapura. Singapura sudah menerapkan wajib militer sejak tahun 1976, sementara Malaysia mulai menerapkan wajib militer pada 2002. Di Iran, wajib militer juga digunakan sebagai pemenuhan hak ekonomi warga negara dengan mewajibkan kerja sosial bagi warga yang tidak melanjutkan pendidikan setingkat SMU dan perguruan tinggi. Sementara Korea Selatan mewajibkan pencari kerja harus sudah mengikuti wajib militer.

Pada perang dunia II, Amerika Serikat mempromosikan concription untuk membentuk citizen soldier yang membebaskan Eropa dari ancaman ‘setan fasisme’. Concription dibentuk tidak hanya semata-mata atas dasar instruksi negara, tetapi juga atas dasar kesukarelaan dari warga negara. Citizen soldier melibatkan warga negara yang memiliki pekerjaan tetap, cukup umur, juga pada warga negara yang akan berpergian keluar negeri.

Argumentasi dominan diberlakukan wajib militer adalah situasi perang atau ancaman perang terhadap eksistensi negara dari luar. Ancaman perang diberlakukan oleh negara seperti Iran karena potensi negara tetangga terhadap kondisi keamanan negara. Di samping itu status perang yang diumumkan oleh negara juga diterapkan oleh negara-negara seperti Korea Selatan dan Israel. Penerapan wajib militer bagi negara dalam ancaman perang dan status perang dilakukan berdasarkan kebutuhan (temporary). Sementara permanen wajib militer diterapkan oleh negara-negara dengan jumlah penduduk yang terbatas secara reguler. Keterbatasan jumlah militer aktif menjadi alasan utama untuk membekali semua warga negara memiliki kemampuan pertahanan negara. Konsepsi ini diterapkan di negara seperti Singapura, Swiss, dan Eropa lainnya. Wajib militer di negara-negara ini memiliki payung hukum legal dan ketentuan khusus seperti usia, pekerjaan, prosedur perekrutan, dan masa dinas.

Argumentasi wajib militer lainnya adalah pembentukan semangat bela negara (patriotisme) di kalangan generasi muda serta komponen cadangan pertahanan negara. Merujuk konsep modern defence (profesional military) jumlah tentara haruslah terbatas, keahlian tinggi (expert), serta persenjataan high tech. Tentara profesional berfungsi sebagai special force dan wajib militer menjadi tenaga volunteer paruh waktu untuk misi kemanusiaan atau dimobilisasi di masa perang.

Penolakan terhadap wajib militer berangkat dari filsafat humanisme tentang semangat anti kekerasaan dalam penyelesaian konflik (non violence action) serta seruan moral agama tentang “larangan membunuh sesama”. Gerakan menolak pelibatan warga sipil untuk memanggul senjata marak di negara-negara Eropa Barat setelah Perang Dingin selesai. Di beberapa negara penolakan tersebut mencapai kemenangan hukum untuk mencabut hak pelibatan warga sipil dalam wajib militer. Penolakan hati nurani (Conscientious Objectors) merepresentasikan semangat hak asasi manusia yang menentang pendekatan konflik bersenjata. Persoalan hak asasi manusia menjadi pasal khusus dalam bentuk Conscientious objectors (CO) yang di beberapa negara memiliki legislasi dalam keadaan apa saja warga negara yang dipanggil untuk wajib militer dapat bebas dari kewajiban tersebut.

Keberhasilan penolakan wajib militer di negara-negara Euro Atlantik tidak terlepas dari berkurangnya ancaman atau dihilangkan status perang paska perang dingin. Negara-negara Euro-Atlantik melakukan perubahan postur pertahanan yang ditandai dengan penyusutan jumlah pasukan dan mempromosikan peace dividend sebagai jalan keluar dari konflik dan ketegangan antar negara. Transformasi kemiliteran berimplikasi terhadap fungsi wajib militer bagi negara-negara Euro-Atlantik yang lebih banyak bertujuan membawa misi perdamaian di daerah paska-konflik. Modernisasi konflik pun menuntut militer dilengkapi dengan keterampilan yang lebih civilian seperti negosiasi dan layanan kesehatan.

Wajib militer di Indonesi menjadi wacana seiring dengan pembahasan RUU Komponen Cadangan Strategis. Usulan tersebut berpijak pada Undang-Undang Pertahanan Nomor 3 tahun 2002 tentang Pertahanan Nasional bahwa dalam menghadapi ancaman ditempatkan TNI sebagai komponen utama, selanjutnya komponen cadangan dan pendukung.

Selama 30 tahun Orde Baru berkuasa menerapkan konsep negara integralistik dimana sulit membedakan militer sebagai pendukung kekuasaan dan militer sebagai alat negara yang melindungi semua komponen bangsa. Abuse of power juga terjadi pada warga sipil berseragam seperti Kamra, Hansip, sampai Satpam. Wajib militer menjadi permasalahan pelik karena kekaburan pemahaman terhadap substansi militer sebagai alat demokrasi dengan bayangan militerisme di masa otoritarian.

Dalam pemerintahan otoriter, militer menjadi aktor dominan yang menyelewengkan kekuasaan. Realitas tersebut berbanding terbalik dengan pengalaman negara-negara demokratik seperti di Eropa, dimana penyelewengan kekuasaan didominasi oleh aktor-aktor sipil sendiri seperti polisi, imigrasi, dan kejaksaan.

Samuel P. Huntington dalam tulisannya The Soldier and the State, mendefenisikan otoritas politik sipil atas militer sebagai pemberian kekuasaan secukupnya pada profesional militer yang kompeten melalui kebijakan yang ditentukan penguasa sipil. Disinilah program wajib militer menjadi sarana yang efektif mendorong TNI lebih profesional karena masyarakat sipil memiliki hak untuk mengakses sumber-sumber kekerasan. Dalam sistem pemerintahan demokratis, otoritas politik sipil yang mengatur dan memutuskan persoalan seperti wajib militer, anggaran militer, sistem persenjataan, pengerahan pasukan, dan aset militer.

*) Willy Aditya, mahasiswa program master Defence and Security Study Cranfield University UK dan ITB Bandung.
Senin, 31 Desember 2007

Tidak ada komentar: