Penerus
Kepeloporan Mahasiswa
Oleh
Rifqi Hasibuan
“Darahku merah, dan akan kumerahkan Indonesia”
Kata-kata itu
meluncur dalam orasi yang disampaikannya di depan rekan-rekannya. Pagi itu, Agustus
1997, ribuan mahasiswa baru berkumpul di pelataran Auditorium Sekip Universitas
Gadjah Mada (UGM). Mereka mengikuti pekan orientasi pengenalan kampus, Opspek.
Senyap beriringan
dengan kegiatan itu, sekelompok mahasiswa melakukan “pengorganisiran”. Kata
yang disebut terakhir ini adalah operasi senyap para aktivis pergerakan.
Represifitas rezim yang mengharamkan politik kampus kala itu, memaksa mereka bergerak
diam-diam.
Tak banyak kalangan
yang mengetahui operasi ini. Para mahasiswa baru itu sedang larut dalam luap kegembiraan.
Tak terpikir di benak mereka bahwa gerak-geriknya diamati oleh para aktivis pergerakan.
Salah satu dari mereka adalah mahasiswa yang baru saja berorasi di hadapan
rekan-rekannya sesama mahasiswa baru.
Perkenalan dengan Dunia Pergerakan
Namanya Willy
Aditya. Jauh dari Solok, Sumatera Barat, dia merantau berburu ilmu di kampus
biru yang terletak di kawasan Bulaksumur, Yogyakarta itu. Setelah urung dari
cita-cita masa kecilnya untuk memasuki dinas militer, dia bertekad mengasah kapasitas
akademiknya di Kota Pelajar itu. Lulus tanpa tes dari INS Kayu Tanam
almamaternya, di memilih Jurusan Manajemen Hutan UGM.
Semester pertama dalam
dunia barunya, Willy langsung aktif dalam berbagai kegiatan kampus. Pers
mahasiswa “Lumut” adalah aktivitas kemahasiswaan pertamanya. Dia juga menginisiasi
pembentukan forum diskusi “Selendang Biru” di fakultasnya. Kehadirannya membuat
pesat perkembangan organisasi yang rutin membahas tema-tema lingkungan dan
kehutanan ini. Dua kegiatan mahasiswa ini merupakan exercise awal yang dilakukan Willy dalam organisasi.
Merasa tak puas
dengan komunitas homogen, pecinta basket dan sepak bola ini mulai mencari
organisasi yang komposisi anggotanya lebih luas. Setelah berdialektika dengan
lingkungannya, Willy memilih bergabung organisasi Masjid Kampus UGM, “Jamaah
Salahuddin.” Saat itu dia memandang organisasi ini independen, intelek, kritis dan
berkomitmen sosial tinggi. Salah satu kesannya adalah ketika terlibat dalam pemindahan
masjid kampus dari gelanggang mahasiswa ke kawasan Lembah UGM. Lokasi pemindahan
masjid kala itu masih berupa kuburan, sehingga makam itu harus direlokasi.
Willy dan
rekan-rekan melakukan bakti sosial memindah makam. Baginya, bakti sosial adalah
bagian dari komitmen mahasiswa yang harus siap mendarmakan pikiran dan tenaganya
untuk masyarakat yang lebih baik.
Seiring proses
penyelaman keorganisasiannya sebagai mahasiswa baru itu, sebuah organisasi
bernama Dewan Mahasiswa (DEMA) UGM secara intensif mengirim kader-kadernya
untuk mendekati Willy. Bagi mereka, lelaki ini adalah kader yang potensial.
DEMA adalah salah
satu organisasi pergerakan yang lahir dari rahim dinamika kampus UGM.
Organisasi ini dideklarasikan tahun 1994 sebagai perlawanan terhadap Senat
Mahasiswa Perguruan Tinggi (SMPT) UGM yang dianggap lembaga korporatif. SMPT tak lebih dari antek kepentingan negara yang
dikendalikan oleh rektorat. Sederet aktivis mahasiswa yang tercatat sebagai
deklarator DEMA antara lain Ari Sujito, Velix Wanggai, Titok Hariyanto, Gusti
Kurniawan, Amril Buomena, Eric Hieric Sirait, dan aktivis lainnya. DEMA aktif
menggalang berbagai kampanye, mulai dari isu demokratisasi kampus hingga isu
HAM dan politik nasional.
Setelah melewati
berbagai diskusi intensif, akhirnya Willy memutuskan untuk bergabung. Willy
melihat ada sesuatu yang lain dari aktivis-aktivis itu. Spektrum
intelektualitas, komitmen nilai serta keberanian bertindak, telah memberinya
motivasi baru untuk lebih jauh menyelami dunia pergerakan mahasiswa.
Berawal dari
organisasi inilah, Willy kemudian melakukan berbagai pendalaman intelektual dan
penajaman praktik organisasi pergerakan, khususnya gerakan mahasiswa. Saat itu,
hembusan angin reformasi ’98 juga mulai mengencang. Hal itu turut mempercepat
akselerasi pergerakan dan kapasitas seorang Willy. Dari titik inilah, dia memulai
episode baru penyelaman hidup yang sarat pelajaran dan dinamika.
Masa kecil hingga remaja: mengasah kebersahajaan
Selain pertimbangan
moral, hal lain yang mendorong laki-laki kelahiran 12 April 1978 ini untuk
menyelami pergerakan adalah kebutuhan intelektualitas. Kecenderungan itu bukan
hal baru baginya. Sejak balita, dia sudah memiliki minat intelektual yang
menonjol. Salah satu kebiasaan uniknya adalah meminta dibangunkan setiap malam
untuk menyimak siaran “Dunia dalam Berita” TVRI. Willy kecil akan marah jika tak
dibangunkan.
Meski begitu, layaknya
anak-anak, Willy kecil tak lepas dari sifat badung. Untuk yang satu ini, bahkan
dia juga memiliki kadar di atas rata-rata. Semasa TK, dia punya kebiasaan
menciumi teman-teman perempuannya di sekolah. Sifatnya ini tak jarang
membuatnya bertengkar dengan teman sebayanya.
Di keluarga, perilaku
onarnya juga tidak absen. Salah satu yang diingat sampai sekarang adalah ketika
dia mengencingi dagangan es yang dijajakan emaknya. Pada suatu titik klimaks, emaknya
menelanjangi Willy kecil, mengikatnya di depan rumah, dan memberi cabe pada mulutnya.
Masa SD dan SMP di
Solok, Willy sudah mulai sedikit menyesuaikan diri terhadap lingkungan. Dengan
arahan orang tuanya, dia mulai rajin belajar, mengaji, selayaknya anak sekolah
seusianya. Menjejak usia SMA, dia masuk ke INS Kayu Tanam, sekolah tertua yang
didirikan oleh Muhammad Syafe’i pada tahun 1926 di Kota Padang. Di masa inilah,
Willy remaja mulai menemukan lingkungan penyalur energi kreatifnya.
Di sekolah ini, dia
dididik menjadi seorang siswa yang melek akademis dan wacana intelektual,
dengan bangunan karakter kepribadian yang kuat. Salah satu praktik pendidikan
sekolah ini adalah pelajaran menanam. Para siswa diharuskan menanam satu pohon,
dan menjaganya hingga siap dimanfaatkan. Ini adalah pendidikan tentang memulai
sesuatu, merawat, hingga memetik hasilnya.
Di sini, Willy juga
mulai berkenalan dengan dunia seni dan kesusasteraan. Sastrawan besar AA Navis
adalah salah seorang idolanya. Dia juga mulai terlibat dalam forum diskusi,
kegiatan ceramah keagamaan, dan aktif menulis berbagai artikel dan puisi secara
rutin. Dari kegiatan inilah bakat orasinya terasah.
Salah satu momen
penting selama di INS adalah perkenalannya dengan seorang guru eksentrik, Hermansyah.
Guru yang biasa dipanggil Ucok itu memperkenalkan dia dengan berbagai wacana yang
kurang lazim bagi anak seusia SMA saat itu. Oleh Ucok, Willy mampu membaca
habis “Di Bawah Bendera Revolusi,” karya fenomenal Proklamator Soekarno.
Dalam buku alumni
pada masa kelulusan, Willy menulis, “Ingat INS Kayu Tanam adalah mengingat
Nasakom.” Pesan yang sangat tidak biasa dibanding pesan masa kelulusan SMA pada
umumnya.
Catatan penting lain
yang disimpan Willy adalah pelajaran tentang kesederhanaan dan kemandirian.
Hidup dari keluarga yang jauh dari kilau kemewahan, Willy sangat akrab dengan
kebersahajaan. Sedari pendidikan TK, dia harus menempuh berkilo-kilo meter jarak
pulang dan pergi antara rumah dan sekolahnya. Dia melakukan itu tanpa diantar
orang tua, apalagi pembantu atau supir pribadi.
Sepulang sekolah, Willy
bermain di kebun, sungai, atau tempat lainnya. Semua itu turut mengasah keterampilannya
bergaul dengan alam dan lingkungan. Tradisi itu semakin terasah saat dia
menempuh pendidikan SMA di INS Kayu Tanam, yang memberinya banyak pelajaran
untuk memilih, mandiri dan beraktulisasi.
Menapak Jalan Reformasi
Ketika menjejak
dunia kampus, Willy cepat menyesuaikan diri dengan lingkungan. Gejolak
reformasi ’98 merupakan iklim yang sesuai dengan gairah yang sudah tertanam
dalam dirinya. Kombinasi antara intelektualitas, keberanian, dan hasrat menembus
kebuntuan, adalah ruh yang menggerakkannya terlibat dalam dunia pergerakan.
Di DEMA, dia
berinteraksi dengan banyak aktivis. Siang-malam, bersama kawan-kawan, Willy tak
henti mengelaborasi wacana dan mempertajam praktik. Beberapa aktivis yang berjalin
tangan dengannya kala itu antara lain Harry Prabowo, Idham Kholiq, dan lain-lain.
Di puncak gelora
reformasi, Willy masih terhitung baru dalam dunia ini. Namun demikian dia cukup
aktif dalam berbagai penggodokan wacana untuk menentukan sikap dan posisi
organisasi dalam gelombang besar perubahan yang sedang terjadi. Kapasitasnya
yang di atas rata-rata membuatnya melejit dibanding kawan-kawan seangkatannya.
Dia adalah aktivis muda yang paling bersemangat menyusuri gelombang reformasi.
Gelegar pergerakan
itu menyusut seiring jatuhnya Soeharto dan terselenggaranya Pemilu 1999. Saat
itu, gerakan mahasiswa mengalami kegamangan menyikapi momentum politik formal
tersebut. Di satu sisi mereka tidak menolak praktik kekuasaan, di sisi lain
mereka ragu untuk mengikuti mekanisme yang mereka anggap kompromistis dan tidak
selaras dengan gairah pergerakan. Momentum Pemilu ini sekaligus menjadi titik
balik gerakan mahasiswa era reformasi.
Saatnya mahasiswa
kembali ke kampus; belajar, kuliah, praktikum, ngegosip, kongkow, dan seterusnya. Demikian banyak kalangan
berpendapat.
Menolak Mundur
Namun itu tak
berlaku bagi pria berperawakan tambun ini. Satu pemikiran mengganjal di
benaknya. Sekian banyak darah dan nyawa tumpah dan meregang dalam momentum
dramatis itu. Pertanyaan yang tersisa, sejauh mana Pemilu 1999 bisa mengawal
semangat dan nilai perubahan yang diperjuangkan mahasiswa itu?
Sekali layar
terkembang, pantang surut ke belakang. Penurunan eskalasi politik serta anjuran
agar mahasiswa kembali ke kampus justru ditanggapi sebaliknya oleh Willy. Dia punya
dua kritik untuk gerakan mahasiswa reformasi. Pertama, gerakan ini bersifat
spontan, tanpa arahan dan kesiapan matang untuk mengawal perubahan. Kedua, model
gerakan yang terfragmentasi secara sektarian. Antitesis dari hal itu, Willy
memproyeksikan perlunya satu gerakan mahasiswa tingkat nasional yang progresif
dan terpimpin.
Tentu saja, impian
itu tidak mudah. DEMA, hanyalah sebuah organisasi mahasiswa tingkat kampus.
Bentuknya juga tergolong cair, mengingat organisasi ini merupakan presidium
mahasiswa. Ini ditambah, sebagian anggota sudah aktif di lembaga atau
organisasi mahasiswa lain.
Willy tidak patah
arang. Untuk mulai mewujudkan ide tersebut, langkah pertamanya adalah melakukan
transformasi DEMA. Didukung sebagian besar anggota yang lain, pada tahun itu
DEMA bertransformasi menuju bentuk yang lebih solid, dan berganti nama menjadi
Serikat Mahasiswa Merdeka (SMM) UGM. Organisasi ini sekaligus mendaulat Willy
sebagai pimpinannya.
Setelah itu penggalangan
berbagai komite aksi selalu dilakukan. Salah satu yang cukup penting adalah Komite
Aksi untuk Pendidikan Kerakyatan (Komite APIK). Diinisiasi oleh SMM, komite ini
berhasil menggalang belasan lembaga tingkat Fakultas di UGM. Lembaga-lembaga
itu mencakup pers mahasiswa, BEM fakultas, dan yang lainnya.
Komite APIK dibentuk
untuk menyikapi isu komersialisasi pendidikan yang bergulir seiring terbitnya
peraturan presiden tentang otonomi kampus. Dalam komite ini, Willy
mengonsolidasikan segenap kekuatan mahasiswa progresif yang masih tersisa dan
terpecah setelah penurunan iklim reformasi. Tak hanya di UGM, konsolidasi juga
diperluas ke berbagai kampus di Indonesia. Isu yang mencuat saat itu, Negara
akan melepaskan tanggung jawab untuk membiayai pendidikan tinggi, dan
menyerahkan urusan pembiayaan itu pada mekanisme pasar.
Berbagai aksi
kampus maupun aksi nasional dilakukan oleh Komite APIK. Salah satunya digelar
saat perayaan Dies Natalis UGM ke-51 pada tahun 2000. Ratusan mahasiswa
melakukan aksi rally keliling kampus,
sambil membawa obor karena aksi dilakukan di malam hari. Sontak pihak rektorat
kelabakan. Mereka mengira para mahasiswa akan membakar gedung pusat. Ikhlasul
Amal sebagai rektor waktu itu, dilarikan lewat pintu belakang. Padahal para
demonstran hanya bermaksud menemui rektor untuk berdialog.
Periode 1999-2000,
hampir semua aksi di UGM yang mengusung isu demokratisasi dan pendidikan
kerakyatan selalu melibatkan Willy sebagai jenderal lapangan. Willy rajin mendatangi
setiap forum diskusi, pers mahasiswa, hingga lembaga-lembaga intra maupun
ekstra kampus. Tak hanya itu, isu tersebut juga dia tularkan di kampus-kampus
lain.
Menggalang Kekuatan Nasional
Seiring kampanye
demokratisasi kampus, Willy mulai melakukan penggalangan kekuatan lebih luas.
Diskusi dan konsolidasi intensif dilakukan antar organ gerakan. Di level daerah
Yogyakarta, konsolidasi melibatkan tujuh kampus. Mereka kemudian sepakat membentuk
organisasi tingkat daerah bernama Komite Bersama untuk Kedaulatan Rakyat
(KIBLAT) Yogyakarta.
Lagi-lagi, Willy dipercaya
untuk memimpin. Dia didaulat sebagai koordinator pembangunan organisasi tingkat
nasional. Sebagai representasi KIBLAT Yogyakarta, diapun berkeliling dari kota
ke kota di Indonesia. Langkah itu ditempuh untuk mengajak organ-organ gerakan di
daerah lain untuk membangun organisasi mahasiswa nasional yang kuat dan
progresif.
Demi melaksanakan
amanat tersebut, tak terhitung pengorbanan yang telah dikeluarkannya. Kuliahnya
terbengkalai, IP jeblok hingga
nol-koma, berbagai barang yang
dimilikinya pun banyak dijual, termasuk buku-bukunya. Salah satu yang begitu
disesalinya adalah buku Di Bawah Bendera
Revolusi, buku kesayangannya. Namun semua itu terpaksa ditempuhnya demi
sejarah yang tengah dilakoninya.
Dan semua itu ternyata
tidak sia-sia. Tahun 2001, setelah setahun menggalang konsolidasi nasional,
terbentuk jaringan organisasi dengan nama Forum Mahasiswa Nasional (FMN).
Organisasi ini mencakup gabungan organ-organ mahasiswa tingkat daerah di 11
provinsi Indonesia, mulai dari Sumatera Barat hingga Nusa Tenggara Barat.
Aksi pertama FMN
dilakukan pada awal 2002. John Howard yang sedang berkunjung ke UGM menerima
“kehormatan” tersebut. FMN menolak kedatangan Perdana Menteri Australia itu
karena dipandang membawa agenda liberalisasi pendidikan di indonesia. Massa aksi
FMN waktu itu bergerak secara sporadis, membuat kelabakan rombongan Howard.
Kembali, Willy Aditya
didapuk sebagai komandan aksi. Kemampuan retorikanya yang mumpuni membakar
telinga yang tengah punya hajat. Ichlasul Amal sang Rektor menghujat
habis-habisan aksi ini. Benturan fisikpun akhirnya tak terhindarkan. Tak kurang
dari 14 mahasiswa masuk rumah sakit. Satu hasil dari aksi tersebut adalah penolakan
dan wacana kritis tentang otonomi kampus semakin meluas setelah aksi itu.
Usai kejadian itu
integritas Willy kembali diuji. Sanksi drop
out (DO) diterimanya. Sebenarnya sudah lama rektorat menempatkannya sebagai
peringkat satu “anak nakal” di UGM. Namun aksi John Howard inilah yang menjadi
momentum untuk menjatuhkan sanksi paling ditakuti oleh para mahasiswa itu.
Untungnya,
solidaritas kalangan kampus UGM untuk Willy mulai meluas. Dukungan berbagai
pihak bermunculan, termasuk dari beberapa pihak kampus sendiri. Berkat simpati
beberapa kolega, akhirnya Willy masih bisa mengambil kuliah di Fakultas
Filsafat di kampus yang sama.
Dan, setiap
pengorbanan memang tak pernah sia-sia. Mei 2003 pada hari ke-18, Willy Aditya bersama kawan-kawan yang lain mendeklarasikan
pendirian FMN sebagai Front Mahasiswa Nasional. Kembali, dia dipercaya untuk
menjadi pemimpin bagi ribuan anggota organisasi baru ini. Tak kurang 5000
mahasiswa dari berbagai daerah di Indonesia berkumpul di Balai Rakyat, Utan
Kayu, Jakarta Timur.
Perubahan dari “forum”
menjadi “front” menandai perubahan organisasi secara kualitatif. Sejak saat
itu, organisasi-organisasi di bawah kepemimpinan FMN yang berada di tingkat
wilayah mau pun tingkat kampus mulai menggunakan identitas FMN.
Kampanye-kampanye
pendidikan maupun respon isu politik nasional semakin gencar dilakukan. Pendidikan
gratis, demokratis, ilmiah, berwawasan nasional dan berkarakter kerakyatan
adalah motto perjuangan pendidikan yang diusung FMN. Salah satu tuntutan utama
yang disuarakan oleh FMN kala itu adalah 20% APBN untuk pendidikan, di samping isu-isu
lainnya.
Memuliakan hidup dengan pergerakan
Setelah dengan
susah payah, tahun 2004, Willy akhirnya bisa menyelesaikan tugasnya sebagai
seorang pelajar di Fakultas Filsafat UGM. Kelulusan ini merupakan sebuah berkah
baginya, karena dia sempat merasa tidak akan mampu menyelesaikan kuliahnya
mengingat jarak Jakarta-Yogyakarta. Kampusnya di Jogja sementara aktifitas
gerakannya di Jakarta.
Bagi Willy, menjadi
kaum pergerakan adalah jalan hidupnya. Selepas dari FMN dia mendirikan Perhimpunan
Rakyat Pekerja (PRP), tepatnya pada 22 Agustus 2004. Tak kurang dari 3000 orang
menjadi anggotanya. Mereka terdiri dari kalangan buruh, petani, pemuda dan
mahasiswa dari berbagai daerah. Deklarasi itu sekaligus mengukuhkan
kepemimpinan Willy sebagai Sekretaris Jenderal PRP, posisi pucuk kepemimpinan
kala itu.
Salah satu agenda
PRP adalah melakukan pembangunan organ-organ gerakan rakyat yang progresif,
terutama dari kelompok buruh dan petani. Selama proses itu, Willy sempat
terinspirasi para tokoh pergerakan dengan melakukan “bunuh diri kelas.” Bersama
Arif Rahman Hakim,[1] Dedi
Ramanta[2]
dan beberapa kawan lain, dia menetap di kawasan buruh kota Tangerang. Berbekal keyakinan
dan tekad perjuangan, mereka menjalani hidup apa adanya, tinggal bersama di
satu kamar kecil, kumuh, dengan uang pas-pasan.
Willy benar-benar
total sebagai pimpinan organisasi sekaligus organizer kader. Satu bentuk
totalitasnya terlihat saat PRP melakukan aksi menolak kenaikan harga BBM di
depan Istana Negara, tepat pada hari raya Idul Fitri tahun 2005.
Tak kurang dari dua
tahun Willy menjalani totalitas ini. Sampai pada suatu titik, dia merasakan ada
sesuatu yang kurang pas dalam membangun gerakan, khususnya di sektor buruh. Di
satu sisi, buruh adalah kelompok marjinal yang tersisih oleh sistem, namun di
sisi lain mereka memiliki keterbatasan sangat nyata dalam dinamika perjuangan.
Hidup mereka sudah habis dalam perjuangan bertahan hidup, sehingga sangat sulit
untuk ditarik menuju kesadaran kolektifnya.
Pada saat yang
sama, Willy mulai terbentur pada berbagai tuntutan mendasar. Mustahil bagi dia
bertahan terus menjadi aktivis, dengan hidup nomaden dan makan seadanya. Tak
mungkin baginya meminta para buruh untuk mencukupi kebutuhannya sementara kondisi
ekonomi mereka sendiri sangat terbatas. Kalaupun mereka membayar iuran, itu
hanya cukup untuk mencukupi kebutuhan minimal organisasi.
Akhirnya, mau tak
mau dia harus bekerja. Keterlibatannya dalam organisasi pun harus dibaginya
dengan beban tugas dari kantornya, Voice of Human Rights (VHR). Tahun 2006, akhirnya
Willy memilih tidak aktif dalam PRP. Beban kerja dan ketidaksepakatannya terhadap
beberapa hal dalam organisasi membuatnya mengambil jalan tersebut. Pas dengan
masa itu, datang panggilan beasiswa S2 di Cranfield University.
Sembari itu, Willy
tetap aktif terlibat dalam berbagai forum-forum komunikasi antar aktivis. Salah
satu pengalaman di masa ini adalah ketika dia menjadi pemateri di salah satu
forum diskusi di Bandung. Saat itu dia menjadi pembicara. Baru saja dia hendak
angkat bicara, tiba-tiba sekelompok milisi bersenjata membubarkan forum itu.
Mereka menganggap forum itu berniat menghidupkan kembali komunisme – sesuatu
yang sudah aneh sebenarnya saat itu. Buntut dari insiden tersebut Willy sempat
mengasingkan diri selama beberapa hari.
Tak bisa ke lain hati
Tahun 2008 Willy
mulai masuk di dunia profesional. Dia menjadi salah satu konsultan di lembaga
donor asing, GTZ. Willy sudah memiliki seorang putera saat itu, buah
perkawinannya dengan Yemmi Livenda, teman sekolah masa SMP sekaligus masa
kuliahnya.
Secara ekonomi, GTZ
memberikan penghasilan yang terhitung cukup untuk membiayai keluarganya. Kenyataannya,
Willy tetap tidak bisa lepas dari dunia politik dan pergerakan. Dia tak bisa ke
lain hati. Kerinduannya terhadap dunia pergerakan membuatnya terpanggil
mengikuti ajakan kawan-kawannya dalam berbagai momentum.
Salah satunya pada
tahun 2009 saat Dadang Juliantara, kawan sekaligus mentor politik, mengajaknya
bergabung dalam sebuah tim politik. Dia diminta secara khusus untuk bergabung
dengan Merti Nusantara, yang mengusung figur Sri Sultan Hamengku Buwoni X
sebagai calon presiden RI. GTZ pun ditinggalkannya.
Dari titik itulah,
Willy mulai aktif kembali dalam berbagai momentum dan konsolidasi politik. Pada
masa itu pula, dia membangun sebuah lembaga analisis politik bernama Populis
Institute. Lembaga ini dibangun guna mendukung kebutuhan aktualisasi wacana,
pemikiran, dan berbagai exercise
politik yang diperlukan.
Orang bilang,
kehidupan ini ada yang mengatur. Gagalnya Sri Sultan HB X masuk bursa calon
presiden pada 2009, membuat Willy sempat terlunta-lunta. Namun siapa sangka,
hal itu membuatnya bertemu dengan Surya Paloh, pengusaha media sekaligus tokoh
politik. Oleh Paloh, Willy diajak mendirikan organisasi kemasyarakatan Nasional
Demokrat. Willy bahkan menjadi salah seorang konseptor organisasi yang
mengusung gagasan Restorasi Indonesia ini. Di organisasi ini, dia dipercaya menjadi
Wakil Sekretaris Jenderal Bidang Perencanaan, Penelitian, dan Pengembangan.
Di tengah dinamika
Nasional Demokrat, Willy masih teringat impian lamanya. Dia telah berhasil
membangun organisasi pergerakan progressif berskala nasional. Namun, masih ada
satu hal yang belum tuntas, yaitu cita-citanya untuk mengembalikan kebebasan
mahasiswa berpolitik, khususnya untuk berpartai.
Refleksinya
terhadap perjuangan reformasi ’98 masih terus melekat dalam memorinya. Perjuangan
mahasiswa selama gelombang reformasi belum menghasilkan output demokratisasi yang optimal karena diserobot oleh para elit
politik oportunis. Di sisi lain, mahasiswa masih cenderung apriori terhadap
partai politik.
Atas pertimbangan
itu, dengan dukungan Ketua Umum Nasional Demokrat, Surya Paloh, akhirnya
tanggal 9 November 2011 dideklarasikan berdirinya Liga Mahasiswa NasDem (LMN). Lagi-lagi
dia didapuk sebagai ketua umumnya. Berbeda dengan mainstream organisasi mahasiswa yang cenderung anti partai, LMN
didirikan justru sebagai tulang punggung bagi partai politik: Partai NasDem.
Karena itulah, semboyan LMN adalah “Belajar, Berpartai dan Berbakti.”
Membangun peradaban
“Banyak orang membuat sejarah, tapi tak banyak yang
membuat peradaban.” Itulah ungkapan yang dipegang
Willy hingga saat ini. Dalam ungkapan itu, termuat pertautan antara nilai
individu dan nilai kolektif. Individu hidup dengan kebutuhan dan tuntutan
eksistensinya, tapi dia tak pernah lepas dari konteks sosial yang melingkupinya.
Itulah ruh
pergerakan yang diyakini Willy. Seseorang baru eksis ketika dia berada dalam
lingkup kolektif manusia. Solidaritas adalah satu kata kunci yang menjembatai indivdu
dengan ruang sosial. Prinsip itu juga mendasari pilihan Willy untuk terjun
kembali ke arena politik dan pergerakan.
Willy memandang
bahwa aktivitas politiknya adalah bagian dari membangun masa depan yang lebih
baik; baik bagi anak-anaknya maupun seluruh anak yang terlahir di bumi pertiwi.
Bayi-bayi yang terlahir dengan beban utang negara sebesar 6 juta sekarang ini,
membutuhkan negara yang lebih baik agar bayi-bayi berikutnya tak perlu menanggung
beban hari ini.
Quantum Ikhlas, Willy meresapi
nilai itu sebagai pengiring aktivitasnya. Tak perlu terlalu pusing memikirkan
apa yang akan didapat. Ketika sesuatu dilakukan dengan keyakinan, itu sudah
menjadi capaian tersendiri. Output
materiil, adalah efek tak langsung dari perbuatan itu. Tidak semua bisa
dikalkulasi secara meteriil, tetapi tindakan yang dilakukan dengan keyakinan
akan diiringi dengan capaian yang tak terkirakan.
Kalkulasi hanya
memperberat langkah untuk bergerak. Sebaliknya, keikhlasan berbuat akan
mendukung akselerasi dan daya kreasi penciptaan. Tentu, semua itu harus
dilakukan berdasar orientasi merubah peradaban, bukan sekadar orientasi
eksistensial.
Banyak sudah
catatan di museum-museum rekor. Setiap orang berlomba-lomba memasukkan
sejarahnya dalam catatan-catatan itu. Tak ada salahnya memang mengejar itu
semua. Namun lebih mulia jika kita bisa menggesernya ke arah perbaikan peradaban.
Begitu banyak orang
yang berhasil membuat sejarah, tetapi begitu terhitungnya mereka yang mau
berpikir tentang kemajuan peradaban. Dan Willy Aditya adalah satu di antara
yang terhitung itu.
[1] Sekarang Sekjend Liga Mahasiswa Nasdem (LMN)
[2] Sekarang Direktur Sekolah Demokrasi Tangerang Selatan