Kamis, 29 September 2011

Kontraktor Keamanan Partikelir (Telaah Kritis Peran Aktor Keamanan di Indonesia)

Willy Aditya

Film Nagabonar Jadi 2 yang diperankan Dedi Mizwar cukup banyak memberikan pesan moral patriotisme pada generasi ‘dugem’ tentang arti bela bangsa. Lalu ’apa kata dunia’ kalau Nagabonar lahir di Irak dan melihat para serdadu asing yang datang tidak berbendera negaranya tetapi bendera perusahaan. Tidak pentingkah itu? Tentu saja penting, apalagi untuk konteks Indonesia dalam relasi modernisasi konflik.

Prolog

Pasca Perang dingin dominasi Amerika Serikat tak terelakan sehingga memperkenalkan konsep demokrasi politik, pasar bebas, dan kebudayaan populer. Tiga elemen inilah yang menjadi basis penyangga globalisasi yang dilancarkan Amerika Serikat. Berdekatan dengan pergerakan globalisasi adalah fakta bahwa aparat keamanan yang terampil terutama dari militer dipindahkan dari kesatuannya. Hal ini menandakan emergence dan pertumbuhan yang cepat dari agen partikelir yang bergerak di bidang jasa keamanan. Mereka dibentuk untuk memenuhi tingginya permintaan akan penjagaan keamanan seiring dengan instabilitas dan intensitas konflik di suatu wilayah.

Agen Partikelir dalam keamanan memiliki sebutan khusus dengan Mercenary atau tentara bayaran yang tergabung dalam Agen Militer Partikelir/Private Military Companies (PMCs), dan Agen Keamanan Partikelir/Private Security Companies (PSCs). Tentara bayaran atau mercenaries berangkat ke medan pertempuran dengan motivasi murni demi uang, tanpa tendensi nilai dan latar belakang membela ideologi, kebangsaan, atau aliran politik tertentu.[1]

Jauh sebelum konsep Mercenary dipopulerkan, di abad 17-an dimana maraknya negara-negara kolonial yang melakukan perperang demi gold, gospel dan glory, sudah dikenal Buccaneers atau Privateers. Kata Buccaneer dalam bahasa Perancis adalah Bouncans, istilah yang sering digunakan pada kriminal dan buronan di pulau-pulau Karibia. Buccaneers jauh berbeda dengan para bajak laut dalam modus operasi dan motivasi dalam bertempur. Inggris Raya dalam perang perebutan wilayah kekuasaan dengan Spanyol untuk menghindari konflik terbuka, kerajaan Inggris secara sembunyi-sembunyi memberikan dukungan terhadap operasi Buccaneers di Amerika Selatan dan Karibia dan dipimpin oleh seorang yang legendaris Henry Morgan yang kemudian menjadi Gubernur Panama dan mendapat gelar kebangsawanan Sir dari Charles II.


Keberadaan agen keamanan dan militer partikelir merupakan suatu kajian khusus dalam ranah Security Sector Governance (SSG), yang mencoba meninjau ulang peran dan fungsi aktor-aktor keamanan dalam modernisasi konflik dan globalisasi. Khusus untuk Indonesia, kajian ini menjadi urgen untuk melihat peran dan nexus agen keamanan partikelir (non state actor) dengan kelompok keamanan tradisional, Tentara Nasional Indonesia/TNI, dan Polisi Repubrik Indonesia/POLRI (state actor).

Outsourcing Keamanan
Pergeseran relasi produksi dalam industri modern ditandai secara khususnya dengan fleksibilitas modal dan tenaga kerja yang melahirkan capital flight dan diversifikasi tenaga kerja. Konteks ini berlaku global karena diusung oleh kaum neoliberal yang menabrak sendi-sendi pertahanan nasional suatu bangsa. Diversifikasi tenaga kerja dapat dipandang sebagai pembedaan terhadap status kerja antara tenaga kerja tetap, kontrak, lepas (outsource) dalam bentuk ikatan kerja. Kecenderungan model fleksibilitas adalah pergerakan tenaga kerja dengan cepat ditandai dengan terbangunnya pasar tenaga kerja dengan persedian cadangan yang berlipah (labor oversupply).

Praktik outsourcing atau labor contracting telah lama dilakukan negara-negara maju kini mulai berkembang di Indonesia. Kegiatan mensubkontrakkan pekerjaan ini oleh kalangan pendukung Human Resource Management (HRM) dipandang sebagai efesiensi nilai kerja, solusi dari pasar tenaga kerja, kelangsungan perusahaan dalam berkompetisi, dan peningkatan skill tenaga kerja. Sementara dalam pandangan penentangnya seperti Serikat Pekerja dianggap sebagai bentuk perbudakan baru dan memperlemah posisi pekerja.

Praktik outsourcing dalam sektor keamanan memiliki akar historis yang panjang dan bukanlah hal asing. Dalam sejarahnya Firaun, Nabi Muhammad, The Great of Alexander serta tokoh dan perang besar lainnya pernah menggunakan jasa mereka. Outsourcing dalam sektor keamanan menggeliat lagi ditandai dengan momentum operasi yang dilakukan George Bush Senior dalam pembebasan warga negara Amerika Serikat di Iran. Dalam operasi pembebasan tersebut Bush membentuk tim ”tentara bayaran” setelah kegagalan operasi resmi dibawah presiden Jimmy Carter. Peristiwa inilah yang menghantarkan Ronald Reagen ketampuk kepresidenan dan success story bagi praktek agen militer partikelir.

Pro kontra dalam penggunaan jasa agen keamanan partikelir biasanya merujuk pada Konvensi Jenewa 1949 yang menggaris bawahi pengertian tentara bayaran. Berikut kutipan Protocol Additional dari Geneva Convention (GC) pada tanggal 12 Agustus 1949 dan terkait dengan Protection of Victims of International Armed Conflicts (Protocol I), 8 Juni 1977, Pasal 47, Tentara bayaran adalah:[2]
  • Direkrut secara khusus baik di dalam maupun luar negeri untuk bertarung dalam sebuah konflik bersenjata.
  • Benar-benar mengambil bagian secara langsung dalam konflik-konflik.
  • Mengambil bagian dalam konflik-konflik secara khusus untuk mendapatkan keuntungan pribadi dan bahkan dijanjikan, oleh salah seorang pihak dalam konflik tersebut, kompensasi materiil yang berjumlah besar, melebihi jumlah yang dibayarkan kepada para pejuang yang berpangkat setingkat di angkatan bersenjata pihak tersebut.
  • Bukan berkewarganegaraan sama dengan salah satu pihak dalam konflik tersebut maupun penduduk suatu wilayah yang dikuasai salah satu pihak.
  • Bukan anggota angkatan bersenjata salah satu pihak; dan
  • Belum pernah dikirim oleh sebuah negara yang bukan salah satu pihak dalam konflik untuk melaksanakan sebuah tugas resmi sebagai bagian dari angkatan bersenjata ini.

Negara-negara di belahan Afrika dan Timur Tengah merupakan ajang paling subur dari tumbuh kembangnya agen militer partikelir ini. Konflik-konflik di negara dunia ketiga yang dipicu oleh masalah politik kekuasaan, perebutan akses sumber daya alam, ketidakadilan ekonomi, serta masalah agama dan etnis yang terus-menerus menjadi kondisi objektif untuk keterlibatan pihak ketiga. Tingginya tingkat ancaman dalam negeri menjadi alasan bagi rezim lokal meminta bantuan negara-negara lain terutama negara-negara maju. Keterlibatan pihak negara maju dengan pengiriman agen militer partikelir/PMC dalam sejarahnya selalu dibarengi dengan kepentingan koorporasi penguasaan atas sumber daya alam yang dikenal dengan istilah Dirty War. Hubungan tentara bayaran dengan Dirty War terkait erat dengan jenis operasi beresiko tinggi seperti order penggulingan rezim di negara tertentu, jaringan mafia atau triad obat bius atau narkotika, dan pasar gelap peredaran senjata.

Di negara-negara maju, rekruitmen personil tentara bayaran berasal dari mantan personil tentara yang telah habis masa dinasnya atau dikeluarkan dari dinas kemiliterannya karena indisipliner atau restrukturisasi. Agen Militer Partikelir dalam hal ini mendapatkan keuntungan dengan kemampuan dasar dan pengalaman lapangan dari mantan tentara tersebut. Posisi yang tak kalah pentingnya adalah pengurangan beban anggaran negara dalam membiayai personil yang terikat secara tetap. Kedua, difungsikan sebagai kanal sosial penciptaan lapangan kerja dengan keberadaan agen partikelir di sektor keamanan. Keberadaan agen militer partikelir/PMC menawarkan bayaran yang sangat tinggi dibandingkan semasa berdinas dalam institusi negara.

Praktek agen militer partikelir di Indonesia mulai menjadi tren setelah 1998 yang ditandai dengan liberalisasi ekonomi dan demokratisasi. Hingga akhir tahun 2003, sedikitnya ada 220 BUJPP (Badan Usaha Jasa Pengamanan dan Penyelamatan) yang sudah terdaftar di AMSI (Asosiasi Manager Security Indonesia). Enam jenis usaha kini digarap oleh perusahaan-perusahaan tersebut, yakni jasa konsultasi keamanan (security consultancy), penerapan peralatan keamanan (security devices), pendidikan dan latihan keamanan (security training and education), kawal angkut uang dan barang berharga (cash in transit), penyediaan tenaga pengaman (guard services), dan penyelamatan (rescue services)[3]. Perusahan jasa pengamanan yang tergabung dalam AMSI merupakan mempunyai legitimasi dari pemerintah dari surat keputusan (SK) Kapolri No 500/VI/2002. Latar belakang dari agen keamanan partikelir di Indonesia berangkat dari organisasi massa yang berbasis kedaerahan dan agama bahkan juga ada kelompok preman. Tetapi sebagian dari mereka sudah mendapat sertifikat dari Kepolisian Republik Indonesia untuk beroperasi.

Agen-Agen Keamanan

Dalam sejarah nusantara dengan bangsa-bangsa yang terdiri dari banyak raja kecil dan tuan tanah sudah memiliki alat represif berupa prajurit dan punggawa perang yang dalam bahasa modern-nya disebut tentara regular (militer). Sementara di pedesaan, elit-elit desa, punya jawara dan centeng sebagai bentuk piranti kekuasaannya. Sampai sekarang sisa-sisa masyarakat tradisonal ini masih sangat berarkar di era industri yang juga menggunakan jasa centeng dan jawara lokal sebagai satpam di kawasan bisnis dan industri.

Pasar grosir Tanah Abang adalah saksi sejarah dalam hubungan antara pasar-pedagang dengan keamanan-centeng yang sudah berusia lebih dua setengah abad. Pasar Tanah Abang tak ubahnya lahan subur untuk tumbuhnya praktek palak, pungli, upeti, copet, calo, pemerasan, dan lainnya. Dalam sejarahnya Tanah Abang memiliki segudang centeng yang namanya berkibar dan dihormati oleh warga setempat. Sebut saja, Sabeni, legendaris dari Tanah Abang, namanya terkenal sejagad Betawi jauh sebelum perang kemerdekaan pecah.

Keberagaman agen keamanan partekelir di Indonesia dapat diklasifikasikan kedalam beberapa kategori. Pertama memiliki basis motivasi yang berangkat dari kesukuan, agama, organisasi massa, dan organisasi politik. Kedua, berbasis pada basis dukungan atau sokongan terhadap keberadaan agen keamanan partekelir tersebut. Dimana basis dukungan ini bisa berasal dari state actor dan non state actor seperti pihak swasta. State actor biasanya berasosialisasi atau berafiliasi dengan TNI dan POLRI. Sedangkan non state actor berasosiasi dengan individu tertentu, swasta lokal/nasional atau lintas Negara seperti TNCs. Ketiga, berbasis pada pengalaman lapangan dan bentuk aktifitasnya. Kategori ketiga ini dipecah menjadi jenis bisnis legal dan illegal dan dapat berperan dalam skala besar dan kecil. Untuk gambaran lebih terstruktur ada dalam tabel berikut:

KATEGORI AKTOR KEAMANAN PARTEKELIR DI INDONESIA[4]
Indikator
Contoh
1. Landasan Motivasi

  • Etnis
  • Laskar Dayak di Kalimantan, Forum Betawi Rempug (FBR) di Jakarta, Pecalang di Bali, Amphibi di Sumbawa dan Lombok
  • Agama
  • Laskar Langlang Jagad di Lombok, dibentuk oleh Wetu Telu dan Komunitas Budha. Front Pembela Islam (FPI), Laskar Jihad, Laskar Kristus di Maluku dan Laskar Manguni.
  • Organisasi Massa
  • Pemuda Pancasila, Ikatan Pemuda Karya
  • Partai Politik
  • Satuan Tugas (SATGAS) berbasis pada kepentingan politik seperti SATGAS PDI-P, PPP, GOLKAR, PKS, PKB, dan PBB.


2. Aktor Utama

Negara

  • Afiliasi TNI
  • PT.BASS, PT.Group 4 Securitas Indonesia
  • Afiliasi POLRI
  • PT.Nawaksara Perkasa, PT.Wiragarda Wahana Waspada
  • Aktor diluar Negara

Individual
  • BPPKB, The Tidar Boys
  • Perusahaan/Yayasan
  • YAKMI volunteers,
  • Organisasi Massa
  • Pemuda Pancasila, Ikatan Pemuda Karya, FBR, Pecalang, Dharma Wisesa, Milisi Amphibi, Milisi Langlang Jagad, FPI, Laskar Jihad, Laskar Kristus, dan Laskar Manguni

Dari table di atas aktor keamanan di Indonesia dapat dibagi kedalam 3 kelompok yang memiliki kepentingan besar terhadap bisnis keamanan. Aktor tersebut adalah state security actor (TNI and Polri), kontraktor partikelir, dan kelompok traditional (agama dan etnis).

Agen keamanan partekelir di Indonesia mempunyai hubungan kekerabatan dengan aktor keamanan negara. Kondisi ini jauh berbeda dengan sejarah lahirnya keamanan partekelir seperti jawara dan centeng. Di masa kolonial Belanda, tidak stabilnya kondisi sosial masyarakat karena ketidakadaan jaminan keamanan pada waktu itu. Kondisi inilah yang memunculkan kelompok-kelompok sosial yang berbasis pada agama, kesukuan, atau identitas umum lain. Sebagian dari kelompok ini kemudian tumbuh menjadi kelompok keamanan, centeng, dan laskar. Ketika Orde Baru mulai berkuasa pada 1966, kelompok-kelompok keamanan ini mengalami transformasi dengan orientasi bisnis dan keuntungan. Keberadaan kelompok-kelompok keamanan ini mengalami lompatan besar dengan liberalisasi setalah 1998 dan menjadi jauh lebih signifikan karena faktor kekerabatan dengan aktor keamanan negara.

Hubungan kelompok keamanan di Indonesia dapat digambarkan melalui:

Kelompok keamanan berbasis agama, kelompok milisi mendapat pengakuan dari Polri dengan Undang-undang No.2/2002, dimana keberadaan milisi berbasis menjadi komponen sipil yang mendukung sistem keamanan nasional yang termaktub dalam Undang-undang No.2/2002, seperti keberadaan Pecalang-Bali dan Amphibi-Lombok. Di Lombok, pemerintah melalui Gubernur secara resmi meminta Amphibi atau (Ababil) terlibat aktif dalam pengamanan Upacara Bodak dan membantu aparat keamanan mengendalikan kekacauan dan tindak kriminal lainnya. Amphibi mendapat pelatihan khusus dari KODIM setempat dan berperan sebagai pam swakarsa. Sementara Pecalang di Bali, Dharma Wisesa, mengklaim memiliki anggota 60.000 orang yang dipersenjatai secara tradisional.[5]
  • Organisasi Massa atau Organisasi Kepemudaan binaan TNI dan Polri yang sering difungsikan sebagai kekuatan anti demonstransi dan penggusuran, seperti Pemuda Pancasila, Pemuda Panca Marga, GIBAS, dll.
  • Kelompok Kesukuan dan Pemerintah Lokal, seperti Forum Betawi Rempug di Jakarta yang mengklaim sebagai representasi masyrakat Betawi asli. FBR memiliki kedekatan politik dengan Gubernur Sutyoso. Di Lampung keberadaan PAKU Banten juga memiliki fungsi politik serupa dengan FBR di Jakarta.
  • Rekanan Bisnis dibawah pengaruh POLRI/TNI. Kelompok ini hadir dengan tampilan lembaga yang professional berupa perusahaan. Perusahaan ini memberikan jasa pengamanan seperti AMSI dan PT. BASS. Perusahaan biasanya menyediakan jasa keamanan terhadap Bank, Hotel, Mall, Karaoke, Komplek Industri, Apartment, and Pertokoan. PT. BASS berada dibawah binaan Yayasan Marinir yang menjadi pelatih dan rekruitmen personilnya.[6]

Reformasi Sektor Keamanan

Gerakan reformasi 1998 menjadi titik pijak dari proses demokrasi Indonesia yang mensyarakat perubahaan dalam relasi kuasa rezim Orde Baru dengan aktor utama ABRI (TNI), Birokrasi, dan Golkar. Tuntutan terhadap TNI “back to barac” memiliki suatu seruan yang merepresentasikan pemisahan antara arena politik (polis) dan senjata (oeicos), tidak hanya sekedar menarik TNI dari DPR, penghapusan komando teritorial, mengaudit bisnis TNI, sampai normalisasi kehidupan demokrasi dan politik berada di bawah otoritas politik sipil.

Demokrasi dan otoritas politik sipil bukanlah suatu ruang dan waktu yang kosong dan berhenti di ranah formal prosedural semata. Mandat-mandat reformasi telah menandai peletakan batu fondasi aturan-aturan legislasi bagi aktor-aktor politik yang ada. Salah satu mandat yang dialamatkan adalah pemisahan TNI dan Polri melalui Ketetapan MPR No. VI/MPR/2000 tentang peran TNI dan POLRI dalam melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai komponen utama pertahanan dan komponen utama pemeliharaan keamanan. Tidak hanya berhenti pada TAP MPR, selanjutnya dipertegas dengan dikeluarkannya UU No. 3 tahun 2002 tentang Pertahanan Negara dan UU No. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Undang-Undang TNI dan POLRI memang sudah ditetapkan bukan berarti semua persoalan menjadi rampung. Reformasi sektor keamanan masih menyisakan permasalahan mendasar lainnya seperti pertahanan yang terpisah sama sekali dari keamanan. Seharusnya, seperti di negara-negara lainnya, pertahanan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari keamanan dalam negeri. Pemisahan antara pertahanan dan keamanan menimbulkan berbagai kerugian terhadap NKRI terutama jika terjadi gangguan keamanan yang berdampak pada keutuhan NKRI, sebagai contoh kerusuhan Ambon, Poso, dan Papua.[7]

Sejauh ini pemerintah sudah menempuh beberapa program yang memberikan dampak tidak langsung terhadap keberadaan para kontraktor keamanan partekelir. Pertama, reformasi TNI dimaksudkan untuk membangun otoritas politik sipil atas militer. Aspek yang cukup penting dalam reformasi TNI berkenaan dengan audit bisnis (formal) di kalangan TNI dan akuisisi menjadi BUMN perusahaan yang layak. Dalam usaha untuk merealisasikan proses pengalihan bisnis militer, ada beberapa permasalahan dihadapi. Bisnis militer sendiri mempunyai arti yang luas atau rancu. Bisnis militer bisa berarti militer sebagai suatu institusi yang menjalankan bisnis atau institusi bisnis yang melayani aktivitas militer, ini sesuatu yang sukar untuk ditentukan.

Contoh paling jelas bisa dilihat ketika Endriartono Sutarto menjabat sebagai Panglima TNI, ia pernah mengeluarkan statemen tentang TNI bukanlah tentara bayaran. “kehadiran pasukan TNI untuk menjaga obyek vital bukan sebagai tentara bayaran. Kami di sana bukan karena kehendak TNI, tapi karena ada permintaan dan kebutuhan untuk mengamankan obyek vital tersebut. Keberadaan pasukan TNI untuk pengamanan objek vital seperti Freeport dan ExxonMobil hanya berdasarkan perintah yang tertuang dalam kontrak karya”. Endriartono Sutarto juga meminta kepastian hukum pada pemerintah mengenai perlu atau tidaknya keberadaan pasukan TNI untuk menjaga obyek vital. Karena dasar kemitraan antara TNI dan Freeport tidak pernah ada. Karena pemerintah tidak mempunyai dana untuk menyiapkan akomodasi dan pembangunan pos-pos penjagaan bagi prajurit TNI.[8]

Kedua, reformasi POLRI mengarah pada membangun kekuatan masyarakat sipil untuk menangani masalah keamanan sipil. Berbagai ragam kejahatan dengan skala besar-kecil, luas-sempit, serta tinggi-rendahnya dalam masyarakat terjadi karena kemampuan dan kapasitas polisi yang masih minimalis. Kerangka penting lainnya dalam reformasi POLRI adalah legalisasi lembaga penyedia keamanan partikelir melalui Keputusan Kepala Polri Nomor Skep/1138/X/1999 yang diumumkan pada 5 Oktober 1999 tentang Petunjuk Pelaksanaan bidang Pelayanan Keselamatan dan Keamanan. Program lainnya yang diwacanakan adalah program membangun polisi masyarakat atau “community policing”.

Dalam upaya reformasi POLRI beberapa permasalahannya adalah wacana ‘community policing’ atau polmas tidak semegah yang diwacanakan. Walau secara formal sudah terlepas dari institusi militer, secara sistem dan budaya Polri masih saja militeristik. Bahkan menjurus pada ranah kompetisi yang tidak kondusif antara TNI dan POLRI terutama seperti dalam kasus kelompok binaan. Di beberapa daerah, kelompok tradisional yang tumbuh menjadi kelompok keamanan partikelir tampil sebagai kelompok kekerasan yang justru menciptakan instabilitas. Contoh kasus Pecalang di Bali sebagai bantu polisi (pam swakarsa) yang menyerupai polisi terjebak pada praktek senophobia untuk yang bekerja atau melakukan bisnis di Bali.[9]

Legislasi dan Role of Engagement Aktor Keamanan

Untuk memudahkan dalam membedah keberadaan kontraktor keamanan partikelir di Indonesia penulis membagi dalam dua komponen sebagai alat analisa. Pertama analisa tingkat risiko/ancaman kontraktor keamanan partikelir di Indonesia. Kedua, piranti perencanaan strategis untuk menemukan regulasi yang tepat diterapkan.

Seperti uraian dalam pembahasan sebelumnya, ada beberapa risiko berkaitan dengan agen keamanan partikelir di Indonesia. Tingkat risiko dihubungkan dengan status mereka dan cakupan aktivitasnya. Aktor keaman di Indonesia memang masih memiliki peran yang minimalis dalam industri penyedia jasa keamanan. Sejauh ini industri jasa ini masih mayoritas sebagai agen penyuplai tenaga satpam dan bodyguard.

Pasca kerusuhan massal 1998, dunia bisnis Indonesia mulai berpikir tidak hanya fokus pada bisnis inti saja, tetapi juga mulai memperhatikan keselamatan dan keamanan bisnis mereka. Gejala ini bisa dilihat bagaiaman perusahan-perusahan melakukan outsourcing terhadap pengamanan perusahaan. Untuk mendapatkan kondisi aman tersebut perusahan mengeluarkan anggaran yang tidak sedikit, contoh saja untuk honor satu pengawal pribadi beberapa tahun lalu saja sudah mencapai Rp 2,5 juta per hari. Belum jika bicara soal tarif sewa peralatan keamanan, seperti alat deteksi bom, cermin, dan ruang kontrol keamanan. Sewa peralatan secara lengkap ada yang bisa mencapai lebih dari Rp 100 juta per bulan.[10]

Aktor keamanan Indonesia bekerja dengan situasi negara dan masyarakat pasca otoritarian yang menyisakan beberapa persoalan seperti, meningkatnya angka kriminalitas, kerawanan konflik, tradisi amuk massa, dan konstelasi (kompetitor) penyedia jasa keamanan dengan status yang beragam, mulai dari kelompok yang berbasis keagamanan, kedaerahan, gank, kepemudaan, sampai yang profesional seperti perusahaan. Situasi diatas secara otomatis membutuhkan tingkat keterampilan yang tinggi karena berhadapan secara ventikal dengan masyarakat dan horizontal dengan aktor keamanan tradisonal.

Tingginya tingkat resiko pada wilayah industri keamanan Indonesia karena belum memadainya basis peraturan perundangan yang legal seperti sektor industri jasa lainnya yang sudah mempunyai basis perundang-undangan yang sah. Sejauh ini industri penyedia jasa keamanan merupakan suatu tatanan sistem kamtibmas swakarsa di bawah payung hukum Polri.

Bahwa penetapan kebijaksanaan teknis kepolisian di bidang preventif maupun represif bagi seluruh kegiatan badan usaha jasa pengamanan harus disesuaikan dan sejalan dengan kebijaksanaan di bidang Kamtibmas. Sesuai dengan Pasal 15 ayat (2) huruf f Undang-undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, menyebutkan bahwa Polri berwenang memberikan izin operasional dan melakukan pengawasan terhadap badan usaha di bidang pengamanan.[11]

Tidak hanya berhenti pada tataran Undang Undang saja, Polri juga merespon perkembangan agen keamanan partikelir di Indonesia dalam Surat Keputusan Kepala Kepolisian Republik Indonesia No. Pol. : Skep/1138/X/1999 tanggal 5 Oktober 1999 tentang petunjuk lapangan pembinaan badan usaha jasa pengamanan dan penyelamatan.

Selayaknya aktor ataupun sektor ekonomi lainnya, riil dan jasa, memiliki status hukum dibawah departemen perindustrian. Sejauh ini dalam prakteknya ada dua sumber yang sering digunakan sebagai payung hukum. Pertama, Undang-undang Organisasi Massa dan kedua, hukum adat yang sering menjadikan faktor kultural sebagai basis legitimasi keberadaan mereka.

Aktor keamanan yang dipayungi oleh hukum adat secara riil bisa dilihat praktek Pecalang di Bali, kelompok jawara pasar Banten, Blater di Madura. Di Bali, Pecalang, menggunakan tradisi sebagai pertimbangan untuk melanjutkan eksistensinya. Peristiwa pemboman Bali dijadikan momentum meluaskan ruang geraknya untuk menyortir para pendatang terutama orang Jawa Timur. Sementara di Banten, kelompok jawara Pasar dibentuk pada tahun 1971 oleh rejim Orde Baru untuk mengakomodasi partai yang dominan. Aktivitasnya dari mulai mengakomodasi kepentingan politis sampai mengamankan kepentingan pemerintah di Banten. Setelah reformasi terjadi dan ada program pemekaran wilayah, dimana Banten menjadi provinsi baru terjadi pelipatgandaan peran jawara dalam relasi terhadap politik dan ekonomi seperti keberadaan pabrik-pabrik di Banten. Dalam kasus Inul Daratista, keberadaan FBR juga tidak jauh beda dengan organisasi diatas, dimana peran keamanan partikelir dengan keamanan negara sama-sama tidak memberikan solusi kongkrit bagi persoalan jaminan keamanan warga negaranya.

Aktor keamanan yang dipayungi Undang Undang Organisasi Massa (memakai selubung ormas) lebih banyak berupa Organisasi Kepemudaan (OKP). Aktor keamanan kedua ini lebih banyak beroperasi dalam wilayah abu-abu atau illegal. Organisasi kepemudaan seperti Pemuda Pancasila, Pemuda Karya, Gabungan Inisiatif Barisan Anak Siliwangi, dll merupakan sederatan nama yang beroperasi pada ranah backing parkiran, prostitusi, judi bahkan mendapat pesanan dari aparat keamanan negara untuk melakukan intimidasi dan teror. Contoh paling kasat mata ada Pamswakarsa waktu sidang istimewa 1999, dimana ada instruksi langsung dari Panglima TNI Wiranto. Sejauh ini keberadaan aktor keamanan partikelir yang berselubung ormas kepemudaan merupakan ancaman bagi demokrasi Indonesia.

Di ranah inilah tumpang tindih regulasi di negara ini bermula. Dimana pertarungan kepentingan antara aktor keamanan negara juga memiliki intervensi ke ranah privat. Tanpa perlu memberikan pemakluman pada transisi paska ototitarian maka sistem hukum seperti ini haruslah dirombak untuk menghindari alasan ‘pembinaan’ oleh aktor keamanan negara terhadap aktor keamanan tradisional dan privat.


Eiplog
Dalam kondisi krisis yang berkepanjangan ini, outsourcing agen keamanan sangat membantu mengurangi pengangguran dan beban anggaran pembelajaan tetap di sektor keamanan dan pertahanan. Para pekerja bisa mendapatkan pekerjaan, meskipun dalam bentuk kontrak kerja dalam jangka waktu tertentu (PKWT/Perjanjian Kerja Waktu Tertentu). Pilihan agen keamanan partikelir menjadi relevan dengan gagasan merasionalisasi (pensiun dini) di kalangan TNI karena permintaan pasar yang meningkat dan gaji yang diterima bahkan bisa lebih besar karena sifatnya kontrak.

Pada posisi lain pemerintah harus responsif terhadap situasi ini dimana Indonesia belum memiliki Undang-Undang atau Peraturan Hukum yang secara jelas mewadahi kegiatan outsourcing untuk agen keamanan partikelir. Keberadaan Undang Undang Polri sebagai payung hukum merupakan posisi yang sangat lemah bagi perkembangan industri jasa keamanan.

Reformasi keamanan diletakan sebagai suatu persoalan yang sektoral namun sebagai suatu konsep dan proses merupakan kebijakan dan otiritas politik yang ada. Sebagai konsep reformasi sektor keamanan juga fokus pada kajian irisan antara keamanan dan pembangunan. Dalam konteks Indonesia kekinian keberadaan agen keamanan partikelir dapat memiliki posisi strategis. Pertama, restrukturisasi aktor keamanan di Indonesia yang selama ini didominasi oleh aktor negara dalam setiap level ekonomi. Kedua, melimpahnya pasokan tenaga kerja dibandingkan lapangan kerja yang tersedia. Dimana industri jasa keamanan merupakan suatu pilihan alternatif. Ketiga, beban anggaran negara yang terlalu besar untuk alokasi keamanan dan pertahanan dapat dikurangi dengan pembagian peran dengan agen partikelir yang profesional. Keempat, dalam merespon modernisasi konflik yang terjadi, agen keamanan partikelir memiliki peran yang signifikan.

Penulis adalah mahasiswa Defence and Security Studies ITB – Cranfield University UK
Jumat, 09 November 2007


Referensi:

1. Tony Vaux, et.al.Humanitarian action and private security company: opening the debate .(London: International Alert, 2001)
2. ICG. The Perils of Private Security in Indonesia: Guards and Militias on Bali and Lombok. ICG Asia Report °67(Jakarta/Brussels, 7 November 2003).
3. S.Goddard, The Private Military Company,p.8, taken from Fred Schreier and Marina Caparini, “Privatising Security: Law, Practice and Governance Private Military and Security Companies.”Occasional Paper No.6 (Geneva: Geneva Centre for the Democratic Control of Armed Forces (DCAF), March 2005) p.26
4. Fitz-Gerald, Ann, and Dick Baly, Lecture on SSG, Defense Study ITB, 6 February 2007
5. Danang Widoyoko et.al., Bisnis Militer mencari legitimasi (Military business find legitimacy). (Jakarta: ICW, 2003)
6. Suhartono, Prof, Dr, Bandit-bandit Pedesaaan di Jawa, studi historis 1850-1942 (Village’s bandits in Java, Historical Studies 1850-1942), (Yogyakarta: Aditya Media, 1993)
Okamoto, Maasaki, Rozaki Abdur (ed), Kelompok Kekerasan dan Bos Lokal di Era Reformasi, IRE, Yogyakarta, 2006.
8. George J.Aditjondro,Financing Human Rights Violations in Indonesia, accessed from http://www.westpapua.net/docs/submission/financing_human_rights_violation.htm , February 14th 2007, 7.20pm

[1] Baca Angkasa Edisi Khusus Tentara Bayaran
[2] Wikipedia, tentara bayaran
[3] Bisnis Keamanan, Industri yang Menggiurkan, Suara Pembaruan, 12 Juli 2005
[4] Table ini diinput dari berbagai sumber dan dikerjakan oleh Anton Aliabbas, Willy Aditya, Erwin Endarianta, Yuliah Qotimah, Koko Komarudin.
[5] ICG Asia Report, 7 Novermber 2003.
[6] Abdur Rozaki,”Sosial Origin dan Politik Kuasa Blater di Madura”, Okamoto Masaaki&Abdur Rozaki,Op.Cit.
[7] www.bappenas.go.id/001_PJP_Kondisi_Umum
[8] Koran Tempo, Panglima TNI: Kami Bukan Tentara Bayaran, 23 Januari 2006
[9] ICG Asia Report °67,2003.
[10] Suara Pembaruan, 12 Juli 2005
[11] Penjelasahan khusus sector pertahanan dan keamanan

Tidak ada komentar: