Kamis, 29 September 2011

Moral Kewarganegaraan Satpol PP


Willy Aditya

Tentu masih ingat di benak kita tentang peristiwa bentrokan berdarah antara warga dan petugas Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) di kawasan makam Mbah Priok, Koja, Jakarta Utara yang menelan tiga korban jiwa beberapa bulan lalu. Ditengah belum tuntasnya penyelidikan atas kasus Koja tersebut, tiba-tiba pemerintah melalui Permendagri No. 26/2010 justru berencana memberikan izin penggunaan senjata api kepada Satpol PP. Permendagri yang cukup kontradiktif dengan penyataan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi sebelumnya ketika menanggapi kasus Koja, yaitu meminta petugas Satpol PP untuk mengembangkan pola pendekatan persuasif dalam menghadapi masyarakat . Menurutnya, pola pendekatan persuasif dan santun telah berhasil diterapkan di Solo, Jawa Tengah (Berita Depdagri, 20/04/2010).

Terlepas bahwa pengoperasian senjata api itu hanya mengunakan peluru gas bukan peluru tajam, serta hanya digunakan untuk self protection ketika menghadapi kondisi-kondisi yang ekstrem, petugas Satpol PP tetaplah anggota masyarakat sipil yang berbeda dengan personil tentara di Indonesia. Jika ditilik lebih dalam kebijakan mempersenjatai Satpol PP sesungguhnya telah mengingkari hakikat keberadaan dan peran Satpol PP itu sendiri sebagai aktor sipil yang berseragam (civilian in uniform).

Merujuk pada pasal 148 UU No. 32/2004, menjadi jelas bahwa Satpol PP berperan menegakan Peraturan Daerah (Perda), menyelenggarakan ketertiban umum, dan menjaga ketentraman masyarakat sebagai pelaksanaan desentralisasi. Dalam menjalankan peranan begitu bagus itu, Satpol PP pun diberi kewenangan untuk melakukan tindakan represif jika dipandang perlu. Tindakan represif ini dapat dibenarkan dalam kerangka menegakkan Perda. Sejauh ini fakta-fakta yang muncul terhadap tindak-tanduk Satpol PP ditengah masyarakat justru bukannya menciptakan ketentraman sosial, malah menimbulkan keresahan sosial, kalaupun tidak, bisa dimaknai sebagai “kekacauan baru”. Banyak tindakan represif dan agresif petugas Satpol PP terhadap masyarakat kecil mulai dari razia gelandangan, penggusuran terhadap PKL, rumah-rumah liar, pembongkaran makam Mbah Priok di Koja, dan terakhir kasus pelecehan seksual di Monas semakin melengkapi gambaran sinis masyarakat terhadap institusi dan personil Satpol PP ini.


Sebagai warga kota, kita harus jujur bahwa sebenarnya kehadiran Satpol PP masih dibutuhkan di tengah masyarakat karena kebanyakan dari kita sangat sulit berkomitmen pada keteraturan, terutama di ruang publik. Meminjam pernyataan Immanuel Kant bahwa manusia sebetulnya tidak memiliki kemauan (will) yang baik, melainkan hanya memiliki keinginan (wish) yang baik, di mana anjuran moral seringkali menjadi tidak relevan dalam dimensi praktis. Kehendak moral menuntut tidak hanya tujuan yang baik, namun juga usaha yang serius untuk mewujudkan tujuan baik tersebut. Berpijak dari pernyataan Kant itu, prasyarat untuk pembenaran tindakan represif oleh Satpol PP tidak melulu hanya terdiri atas penegakan Perda-perda, tetapi lebih ditekankan kepada tindakan moral dalam setiap keputusan dan operasionalnya.

Oleh karena itu petugas Satpol PP semestinya mengedepankan nilai-nilai moral dan prilaku beradab (civilized) serta menjadi contoh bagi masyarakat tentang bagaimana menjadi warganegara sipil yang baik. Hal ini sesuai dengan namanya, Polisi Pamong Praja, yang diambil dari istilah politie yang berarti penjaga ketertiban dan ngemong itu sendiri yang berarti mengasuh dan mengasihi. Tentang bagaimana Satpol PP menjadi contoh bagi anggota masyarakat lainnya, kita dapat merujuk pada pemikiran Machiavelli tentang kewarganegaraan. Walaupun pendekatannya agak paradoks karena usahanya memisahkan etika dari politik. Ia sebenarnya membuat penilaian yang etis dalam wilayah politik massa.

Masyarakat sipil yang baik dalam konsepsi Machiavelli menuntut adanya warganegara-warganegara yang lebih disiplin dan dengan moral yang sangat tinggi. Orang-orang demikian tidak dilahirkan, tetapi menurutnya mereka diciptakan lewat pendidikan dengan kualitas ‘virtue’ yang keras, penuh disiplin, serta minat dan ketertarikan yang besar untuk aktif dalam urusan publik, baik militer maupun sipil. ‘Virtue’ ini diartikan sebagai kualitas pikiran dan tindakan yang menciptakan, menyelamatkan atau melanggengkan keberadaan kota-kota. Menurutnya, pengabdian militer dapat merubah manusia menjadi lebih baik karena tidak ada peraturan hukum atau apapun yang dapat berjalan tanpa disiplin ala militer. (Derek Heater, 1999).

Satpol PP dapat dikatakan bentuk pengabdian sebagai civillian-duty ala Machiavelli ini. Untuk mempertahankan kedisiplinan, mereka dilatih secara efektif dan profesional untuk menghadapi kesulitan, serta mampu mengendalikan emosi ketika bertahan ataupun harus melakukan tindakan represif. Penegakan hukum yang efektif dan memuaskan biasanya juga membutuhkan seorang pemimpin (baca: kepala pemerintah) yang bijak dalam menyelesaikan masalah dan didukung pasukan yang berbudi luhur serta memiliki semangat mengabdi. Dengan demikian dituntut sebuah kecerdasan, pengendalian emosi, dan kemampuan persuasif yang lebih dari cukup bagi petugas satpol PP. Apalagi ketika dalam menjalankan tugas mereka membawa senjata api.

Dalam prakteknya, konsepsi pengabdian secara civilian duty yang super-keras dan membawa alat kekerasan (baca: senjata api) memang kurang sesuai, terutama pada masa kini. Dibutuhkan beberapa penyesuaian agar praktek, dan prilaku para Penegak Perda tersebut sesuai dengan domain nilai dan kebajikan peradaban demokrasi. Sekedar mencontoh negara-negara maju, seperti Jerman misalnya, petugas pamong praja malah tidak berseragam apalagi bersenjata. Meskipun mereka bertugas untuk menegakkan Perda dan menjaga ketertiban, nyatanya mereka dapat berbaur dan menjalankan aktivitasnya sebagaimana warganegara lainnya, tanpa merasa takut dimusuhi oleh warga. Oleh karena itu pula, dalam menjalankan tugasnya Petugas Pamong Praja di Jerman tidak perlu bergerombol dan agresif seperti Satpol PP di Indonesia, tetapi berlaku sebagaimana warganegara biasa.

Sebaiknya di kemudian hari, peranan Satpol PP dalam hal menjaga ketertiban masyarakat secara bertahap digeser menjadi keterlibatan anggota masyarakat dalam organisasi yang melaksanakan kegiatan sukarela bagi komunitas. Keterlibatan aktif warga ini diharapkan akan mengurangi terjadinya konflik-konflik baru antara warga dengan aparat pemerintah sekaligus membantu menata ruang publik yang lebih beradab. Sebuah contoh menarik yang dikemukakan Derek Heater misalnya, tentang kegiatan sukarela untuk menjaga keamanan anak remaja di luar rumah dalam sebuah kota Kristiansund, Norwergia. Organisasi sukarela ini ikut menjaga keamanan di wilayah di mana anak remaja melakukan kegiatan sosial di ruang publik setiap akhir pekan dan pada waktu libur. Siapapun yang tertarik dan mempunyai sumber daya waktu dan tenaga dapat menyumbangkan diri berpartisipasi di dalam kegiatan yang ditawarkan.

Dengan meningkatkan keterlibatan masyarakat secara sukarela dalam wilayah publik bersama diharapkan berbagai persoalan sosial di kota-kota besar seperti menjamurnya gelandangan, anak jalanan, pedagang kaki lima (PKL) di beberapa ruas jalan juga dapat diselesaikan secara koletivitas antara pemerintah dengan warga kota setempat demi kepentingan bersama atau kebaikan bersama. Berbagai kegiatan seperti festival, pasar malam, dan pertunjukan teater di ruang publik komunitas dapat diterapkan sebagai teknik menarik sejumlah PKL dan seniman jalanan dari jalan raya ke ruang publik yang lebih layak. Metode persaudaraan publik (Public Fraternity) ini terbukti efektif untuk mengatasi persoalan-persoalan sosial ekonomi di kota-kota besar di Eropa. Upaya-upaya untuk meningkatkan kegiatan sukarela dalam ruang publik di Indonesia membutuhkan peran aktif dari institusi-institusi politik yang ada, termasuk pemerintah. Pemerintah harus ikut aktif mendidik masyarakat sehingga setiap warganegara mau menyesuaikan kepentingan-kepentingan pribadinya dengan kehendak bersama di ruang publik.

Akhirnya, semua langkah-langkah yang jauh lebih beradab yang telah disebutkan diatas ini diharapkan bisa menjadi basis institusi dan basis moral personil Satpol PP atas keberadaan dan kebutuhan mereka dalam kehidupan bermasyarakat di Indonesia sekarang ini. Hadirnya Gamawan Fauzi sebagai Menteri Dalam Negeri untuk pertama kalinya dari kalangan sipil harusnya tidak mencederai momentum demokrasi yang sedang tumbuh. Semua itu dapat dimulai dari membangun institusi dan moral kewarganegaraan dalam jiwa dan raga petugas penjaga ketertiban dan keamanan yang semakin beradab.
Alumnus Defence and Security Studies ITB – Cranfield University UK

Tidak ada komentar: