Kamis, 29 September 2011

Kebajikan (Virtue) Militer dalam Filsafat Timur


Willy Aditya

Tidak ada rujukan yang utama dalam khasanah timur (baca: Indonesia) dalam persoalan nilai dan kebajikan tentara selain Babat Bharatayudha karangan Mpu Wyasa. Perang Bharatayudha mengisahkan perang antara dua kelompok saudara, Pandawa di satu sisi sebagai protagonis dan Kurawa di sisi lain sebagai antagonis.

Satu babak yang bisa menceritakan tentang nilai dan kebajikan seorang tentara (prajurit) dalam perang adalah babak ketika Arjuna (atau juga dikenal sebagai Janaka) mulai memimpin perang. Arjuna melakukan inspeksi untuk melihat siapa musuh-musuhnya yang akan dibunuh dalam perang di padang Kurusetra nantinya. Tiba-tiba Arjuna dilanda pergolakan batin karena di dalam orang-orang yang akan dibunuhnya ada kakeknya, guru besarnya, saudara sepupu, teman sepermainan, ipar dan kerabatnya.

Arjuna tidak tega untuk melanjutkan perang yang harus dipimpinnya itu. Dilanda pergolakan batin antara mana yang benar dan mana yang salah, Arjuna berniat mengundurkan diri dari perang. Dia mengatakan pada Kresna bahwa dia tidak tega jika harus membunuh semua saudaranya, juga bertanya apa keuntungan dari perang yang akan dilakukannya ini nantinya. Kresna yang juga adalah titisan Wisnu kemudian memberi nasehat yang berupa nyanyian yang kemudian dikenal sebagai Bhagawadgita (Nyanyian Tuhan), yang merupakan kitab tersendiri dalam agama Hindu.


Dalam nasehat Kresna, penolakan Arjuna terhadap perang di saat krisis dianggap sebagai hal yang tidak pantas bagi seorang ksatria bahkan juga akan menutup pintu surga. Kesedihan Arjuna bahwa dia tidak bisa membunuh saudara-saudaranya dan sebagainya menurut Kresna seolah-olah itu bijaksana tetapi sebenarnya tidak. Karena dengan demikian berarti Arjuna tidak memahami dengan benar apa itu kebenaran. Bagi Kresna yang terpenting pada saat dimana situasi yang dihadapi Arjuna adalah mendedikasikan diri sebagai seorang ksatria dan tidak mengingkarinya, karena tidak ada imbalan yang paling baik bagi seorang ksatria selain suatu perang demi kebenaran.

Dalam Bhagawdagita, seorang ksatria harus berbahagia ketika maju berperang demi kebenaran karena dengan begitu pintu surga akan terbuka baginya tanpa diminta. Bagi seorang ksatria yang tidak maju berperang berarti dia akan mengabaikan kewajiban dan kehormatannya. Secara lebih luas filsafat perang yang termaktub dalam Bhagawadgita ini juga menjelaskan tentang dialektika antara teori dan praktek.

Teori atau ilmu pengetahuan (gnana-yoga) yang disebut ajaran Sankhya dan ilmu kedua adalah tindakan (karma yoga). Dua hal ini tidak bisa dipisahkan, juga tidak bisa dipilih salah satu. Menurutnya seseorang tidak akan mendapatkan kebebasan dengan menelantarkan pekerjaannya, juga seseorang tidak akan mendapatkan kesempurnaan hanya dengan berpasrah diri. Nilai dan kebajikan seperti inilah yang sampai sekarang memberi pengaruh dalam nilai keprajuritan di Indonesia.

Penulis Adalah Alumni Program Master Defence and Security Studies ITB – Cranfield University UK

Tidak ada komentar: