Kamis, 29 September 2011

Quo Vadis Republik?


Willy Aditya

Bak pesta nikahan pangeran perayaan HUT Republik Indonesia ke-60 dihiasi bendera merah-putih, nyanyi-nyanyian serta pekik merdeka. Pesta semakin semarak dengan nonton bareng langsung perundingan damai RI-GAM dari Helsinki dan berkado khusus salaman Hamid Awaludin-Malik Mahmud. Derai air mata, darah dan nyawa berganti sejenak dengan gelak-tawa dan pelukan hangat perdamaian. Aceh seperti mengantarkan kita pada negeri dalam komik silat yang penuh dengan pertumpahan darah dan bencana alam.

Banyak tanya yang tersisa setelah gelak-tawa di Helsinki ditandatangi sebagai nota perdamaian RI-GAM. Pertanyaan-pertanyaan seperti apakah RI-GAM akan berkomitmen penuh pada perdamaian, otoritas RI yang digantikan Aceh Monitoring Mission (AMM), perbedaan interpretasi RI-GAM tentang pengadilan HAM sampai Aceh sudah bukan bagian dari NKRI tapi sudah Negara dalam Negara! Di seberang kanan muncul PDI Perjuangan melalui Sutardjo Suryoguritno yang cauvinis dalam menanggapi jalan damai, kedua peneliti LIPI Ikrar Nusa Bhakti yang berpendapat Perjanjian Helsinki menciptakan Negara dalam Negara. Sementara tanggapan LSM seperti yang diwakili oleh YLBHI dalam konfrensi pers 16/08/2005 “Kalau semata hanya pada mantan anggota GAM, menurut saya, justru civil society yang selama ini banyak membantu persoalan Aceh menjadi korban. Jadi para aktivis ini seharusnya juga menjadi subjek untuk mendapatkan amnesti," tegas Ketua YLBHI Munarman kepada detikcom. Pandangan yang berbeda justru hadir oleh Hizbut Tahrir Indonesia yang lebih mengarah pada campur tangan asing dalam penyelesaian kasus Aceh dan Papua.

Beberapa poin Nota Perdamaian Indonesia-GAM sekilas bombastis. Perjanjian Helsinki bukanlah hasil ‘alakazam’ proses damai tersebut harus ditempatkan secara historis untuk memberikan maknai utuh.


• Aceh akan melaksanakan kewenangan dalam semua sektor publik yang akan diselenggarakan bersama dengan administrasi sipil dan peradilan, kecuali dalam bidang hubungan luar negeri, pertahanan luar, keamanan nasional, hal ihwal moneter dan fiskal, kekuasaan kehakiman dan kebebasan beragama, di mana kebijakan tersebut merupakan kewenangan Pemerintah Republik Indonesia sesuai dengan Konstitusi.
• Keputusan-keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia yang terkait dengan Aceh akan dilakukan dengan konsultasi dan persetujuan legislatif Aceh.
• Aceh memiliki hak untuk menggunakan simbol-simbol wilayah termasuk bendera, lambang, dan himne.
• Aceh berhak memperoleh dana melalui utang luar negeri. Aceh berhak untuk menetapkan tingkat suku bunga berbeda dengan yang ditetapkan oleh Bank Sentral Republik Indonesia (Bank Indonesia).
• Aceh berhak menetapkan dan memungut pajak daerah untuk membiayai kegiatan-kegiatan internal yang resmi. Aceh berhak melakukan perdagangan dan bisnis secara internal dan internasional serta menarik investasi dan wisatawan asing secara langsung ke Aceh.
• Aceh berhak menguasai 70 persen hasil dari semua cadangan hidrokarbon dan sumber daya alam lainnya yang ada saat ini dan di masa mendatang di wilayah Aceh maupun laut teritorial sekitar Aceh.

Benarkah poin-poin nota perdamaian diatas bertendensi ke Federalisme? Jangan cemas dulu bung! Selama 20 tahun lebih isi kepala warga negara Indonesia dipenuhi doktrin negara kesatuan dan Pancasila Sakti. Pendidikan sejarah perjuangan bangsa telah mencuci otak kita bahwa konflik daerah pusat (konflik kekuasaan) dituduh pemberontakan, separatis, seversib dan makar.

Untuk kasus Aceh masyarakat Indonesia bisa membuka lembaran sejarah bangsa lain seperti Catalan di Spanyol. Cataalan memiliki otoritas luas dalam pengelolaan ekonomi dan memiliki bahasa resmi sendiri. Sejarah perlawanan panjang terhadap pemerintahan membuat masyarakat Calatam emoh mengakui bagian dari Spanyol. Hongkong adalah potret anyar contoh hubungan daerah-pusat. RRC adalah Negara sosialis yang masih bertahan kuat dibawah kepemimpinan PKC bisa mengakomodir perbedaan ekonomi, bahasa dan budaya yang diterapkan di Hongkong.

Negara bagian dalam Federalisme memiliki tiga otoritas Hubungan Internasional, Fiskal dan Pertahanan-keamanan. Perjanjian Helsinki tidak memiliki poin tentang pertahanan dan keamanan yang harus dikelola oleh pemerintahan Aceh. Ada polisi syariah yang berfungsi kultural dalam mengkonservasi nilai dasar Aceh.

Sehari sebelum penandatangan penjanjian damai Helsinki Presiden SBY menegaskan “Kita harus mempertahankan NKRI sampai darah penghabisan” (Kompas, 14 agustus 2005 Halaman Utama). Di tengah pergeseran kerak peradapan dan ancaman tsunami globalisasi hanya ada dua kapal yang berbendera Negara Kesatuan yaitu Republik Rakyat China di bawah pengaruh PKC dan Negara Kesatuan Republik Indonesia berawal oleh Imperior Sukarno dan ‘bengis’-nya Suharto.

Gejolak politik daerah bukanlah konflik baru dalam sejarah Republik Indonesia. Pasca Agresi Belanda II ditandatangi KMB dibentuklah Republik Indonesia Serikat. Walau RIS adalah akal-akalan Belanda namun menjadi pemantik sejarah bahwa daerah-daerah lain pernah memiliki pemerintahan sendiri. Di zaman Sukarno banyak konflik muncul dari situasi pertentangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah seperti DI/TII, RMS, PRRI/PERMESTA. Pertentangan itu terutama mengenai masalah otonomi dan perimbangan anggaran di Pusat dan Daerah.

Belum duduk soal Aceh, masyarakat Papua sudah kepanasan menunggu penyelesaian Otonomi Khusus yang diperjuangkan . Aceh-Papua adalah persoalan besar dalam bangunan Negara bangsa Indonesia kontemporer. Konflik pusat-daerah, pembagian porsi hasil alam dan lain sebagainya adalah benih konflik yang menuntut penyelesaian mengakar.

Jika kita bicara konteks kekinian, ada beberapa hal yang perlu dicatat mengenai peran negara. Pertama, sebagai supra struktur, ia tidak lain adalah centeng penjaga kapitalisme. Baik dengan cara represif maupun lewat pengendalian spiritual dan budaya. Kedua, pengusaha pribumi masih berperan sebagai komprador atau agen perantara kapitalis internasional. Ketiga, syarat-syarat keberadaan dan keberlangsungan suatu negara di saat ini ditentukan oleh agen-agen kapitalisme internasional.

Artinya posisi negara, terutama negara dunia ketiga, adalah neo koloni. Koloni-koloni bentuk baru. Dalam literatur ekonomi politik struktural, ada dua bentuk penjajahan yaitu kolonialisme, penjajahan dengan senjata, invansi dan yang kedua imperialisme penjajahan yang 'halus' tapi tidak kurang kejamnya. Imperialisme ini yang kemudian dikatakan sebagai fase tertinggi kapitalisme.

Turunannya kemudian adalah sebuah negara yang secara de jure adalah negara merdeka namun belum tentu merupakan bangsa. Fenomena perusahaan trans nasionalmenggeser 'bangsa-bangsa' yang ada dan muncul menjadi 'meta bangsa'. Penyatuan dunia dalam kategori sejarah epos kapitalisme.

Penyelesaian konflik Aceh-Papua dalam kaca mata global tidak sekedar persoalan Indonesia saja. Di Aceh ada TNC exonmobile oil serta Freeport di Papua yang terlatih dalam konflik kekuasaan di beberapa Negara. Tak heran bila presiden SBY panas kepala ketika anggota kongres Amerika mengeluarkan statement tentang Papua. Tak hanya berhenti di Papua, Unieropa juga mengambil peran aktif dalam perundingan damai Aceh di Helsinki.

Republik Indonesia dalam mimpi Sukarno ijo royo-royo adalah jamrud diapit dua benua dan samudra di tengah garis khatuliswa. Bagaimanakah rupa Republik ditengah gelombang tsunami globalisasi dan konflik daerah miskin versus kekayaan pusat?
Jumat, 09 November 2007

Tidak ada komentar: