Sabtu, 01 Oktober 2011

Sekularisasi ala Pendidikan Indonesia

Padang Ekspres • Kamis, 09/06/2011 

Dunia pendidikan belum usai mencari kurikulum yang pas. Bentuk-bentuk seperti Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA), Kurikulum Berbasis Kompentensi (KBK) atau Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) ternyata belum memuaskan dahaga. Sekarang muncul istilah baru, Pendidikan Karakter-Cerdas (PK-C).

Istilah ini menjadi tema utama dalam ”Seminar Nasional Pendidikan Karakter-Cerdas” yang diselenggarakan Universitas Negeri Padang, Selasa-Rabu (7-8/6) lalu di Kampus UNP Airtawar, Padang. UNP bersemangat sekali kelihatannya. Dalam jadwal acara disebutkan, rekomendasi akan digunakan untuk membangun Pusat Pembinaan Pendidikan Karakter.

Idiom pendidikan karakter mulai muncul dari Kementerian Pendidikan Nasional 2010 lalu. Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono mengukuhkannya pada pidato Hari Pendidikan dan Kebangkitan Nasional, 20 Mei lalu. Begini bagian awal pidato itu, ”Sebagaimana yang disampaikan oleh Menteri Pendidikan Nasional tadi, tema peringatan, baik Hari Pendidikan Nasional maupun Hari Kebangkitan Nasional tahun 2011 ini adalah pendidikan karakter sebagai pilar kebangkitan bangsa, dengan subtema raih prestasi, junjung tinggi budi pekerti.
Saya mengajak saudara semua, seluruh rakyat Indonesia untuk mengimplementasikan tema dan subtema yang kita usung bersama dalam peringatan Hari Pendidikan Nasional dan Hari Kebangkitan Nasional tahun 2011 ini.” 


Menariknya, pendidikan Pancasila yang lenyap sejak era reformasi kembali digaungkan. Bagi panitia penyelenggara, PK-C dimunculkan sebagai antisipasi maraknya tawuran pelajar, korupsi, mafia hukum yang memasuki sel-sel kehidupan berbangsa. Memberikan PK-C dari awal dianggap memberikan solusi ”menjernihkan” sikap dan mental hidup anak didik.

Pagi-pagi, persoalan karakter, dipertanyakan Rektor UNP Z Mawardi Efendi. ”Kita harus hati-hati dalam memakaikan sesuatu. Saya banyak ditanya ketika pendidikan karakter ini mulai mengemuka. Apa itu karakter? Jika sekarang baru dilaksanakan pendidikan karakter itu, apa dulu pendidikan kita tidak berkarakter?” cerita Mawardi.

Makanya, dia meminta seminar bisa memberikan jawaban dan rekomendasi yang memuaskan. ”Hati-hati menjamahnya. Kita perlu meraba apa yang dimaksud SBY dengan pendidikan karakter,” ujarnya

Pertanyaan itu mengkristal di sesi kedua seminar. Budayawan Wisran Hadi mempertanyakan dengan tegas, ”Apakah kecerdasan itu sebuah karakter?” tanyanya dalam makalah.

Bahkan dalam dua kalimat awal di paragraf pertama pada makalah yang berjudul Ironi Kebangsaan, Sistem Bongkar Pasang Pendidikan Indonesia itu, sudah menegaskan apa yang terjadi di dunia pendidikan Indonesia hari ini. Penanda dari sejarah perkembangan pendidikan di Indonesia adalah terpeliharanya sistem bongkar pasang. Sistem pendidikan ala surau yang mandiri dan agamis, digeser secara bertahap sampai kepada pendidikan sekuler Barat.

Sumber dari Kementerian Pendidikan Nasional menceritakan sebuah kisah yang membuat hati berdegup. Di pertengahan 60-an, saat seluruh perhatian tercurah untuk memadamkan PKI, sekelompok peneliti dari Inggris mendarat di Sumatera Barat. Tugas mereka di Pulau Andalas ini adalah melakukan penelitian terhadap pendidikan surau. ”Kalau tidak salah, dua tahun mereka melakukan penelitian,” kata sumber itu.

Mereka membawa penelitian itu ke negaranya. Tak lama kemudian, sebuah metode didapat dan dijadikan patokan bagi seluruh sistem pengajaran di Inggris. ”Hebatnya!” katanya dengan senyum sinis. ”Metode itu kita beli kembali dan menjelma menjadi KBK,” tambah Wisran lagi.

Namun, yang tampak jelas, metode pendidikan yang digunakan pasti akan menghilangkan aura agama dan budaya dalam sistem mereka yang baru. Ini yang diprotes Wisran dalam akhir makalah. ”Metode boleh baru, tapi agama dan budaya apa yang jadi landas pijaknya?” tanya Wisran.
Sejak awal seminar sudah keburu ”panas”. Willy Aditya yang didapuk jadi pembicara pertama benar-benar merecoki peserta dengan tiadanya identitas bangsa Indonesia hari ini. ”Tak ada lagi yang bisa dibanggakan,” katanya.

Wakil Sekretaris Jenderal Bidang Perencanaan, Penelitian dan Pengembangan Nasional Demokrat ini memulai seminar dengan petikan mantan pemimpin tertinggi China Deng Xiaoping, ”kalau ada pemimpin yang tidak mengerti dengan pendidikan, ia tidak layak jadi pemimpin”.

Soekarno di mata alumni INS Kayutanam ini menjadi contoh ideal. ”Bung Besar” (panggilan Soekarno) mengajarkan nation and character building kepada rakyatnya dengan rasa kebanggaan. ”Dengan kata lain, nasionalisme disuntikkan sebegitu rupa sehinggga menjadi api yang menyala-nyala di dada. Dibawa ke mana-mana. Inilah yang tidak terlihat hari ini,” tukasnya.

Korupsi meruyak, demokrasi diinjak-injak dengan menyorak-nyorakkannya. ”Pemimpin kita hari ini tidak punya karakter yang kemudian ditutupi dengan citra karakter yang dalam bahasa anak muda Jakarta, lebay,” katanya. Soekarno mengalami tiga kali percobaan pembunuhan, ”Masa dengan SMS gelap saja kelimpungan minta ampun,” katanya menggeleng-gelengkan kepala menyindir Presiden SBY.

Yang paling ironi, menurut Willy, adalah tidak ada yang bisa dicontoh hari ini. Wisran menyebut pesan berbahaya dari pendidikan sekuler ala Indonesia yang terjadi, yang ”diam-diam” disepakati: apa yang diajarkan di sekolah jangan dicari rujukannya di luar sekolah. Pendidikan hari ini memisahkan nilai-nilai luhur yang diajarkan dengan perilaku lingkungan.

Tapi harapan tidak boleh dilepaskan. Willy masih berharap kepada kaum alim ulama. Hari ini, pemuka agama sudah mulai berbicara. Din Syamsuddin, Buya Syafii Ma’arif berkali-kali berbicara keras di media dalam menyikapi kebijakan pemerintah. ”Kalau perlu terjadi perang Paderi jilid II,” kata Willy.

Lulusan ITB ini melihat karakter bangsa yang dicari mesti berakar kuat dalam masyarakat Indonesia. Dia kembali membuka memori tentang dunia maritim yang menjadi ciri khas bangsa Indonesia. Lahirnya mistitisme disebabkan ”kerajaan” darat yang berkuasa. ”Orang laut lebih rasional, egaliter dan kosmopolitan,” katanya. Masyarakat pantai melaut karena pengetahuan tentang alam, bukan meminta tumbuhnya padi dengan sesembahan.

Indonesia bersifat kontinental, pulau-pulau, bukan didominasi darat. Maka, cocok sebenarnya kalau karakter bangsa diarahkan ke sana. Dia juga menguti apa yang diimpikan Soekarno di zaman dahulu. Menurutnya, proklamator bangsa ini sangfar nebgerti dengan kondisi Indonesia. Rakyat dilihatnya punya sifat emansipatif. Maka, gotong royong menjadi satu kata kunci dalam menggali karakter bangsa.

Persoalan lain yang meruyak di dunia pendidikan hari ini adalah cengkeraman politik. Setiap pejabat pendidikan didesak berbuat sesuatu. ”Apakah ’sesuatu’ itu berguna atau tidak bagi masyarakat, itu cerita lain,” kata Wisran. Jika ingin pendidikan membaik, maka kekuasaan politik harus dipagari tinggi-tinggi agar tak melompat dalam dunia pendidikan. Bukan cerita basi, banyak partai menumpangkan hidup pada dunia pendidikan yang mempunyai anggaran 20 persen setiap tahunnya.

PK-C bukan tak mungkin proyek kementerian pendidikan hari ini. Sebagai menteri baru, M Nuh tentu dituntut menciptakan ”sesuatu” yang baru. Itu pula yang ditakutkan nanti. PK-C jadi proyek baru sepertinya KBK dan KTSP yang mati pucuk, layu sebelum berkembang.

Dilihat dari konsep, PK-C menginginkan peserta didik mampu menjadi Khalifah di Muka Bumi (KDMB). Prayitno, yang menjadi ”pengantin” karena bukunya tentang PK-C diluncurkan, memberikan standar tentang peserta didik nantinya. Ayat Al-Qur’an pun dipetik untuk memperlihatkan basis dari metode ini.

Ada 76 halaman presentasi ketua pascasarjana UNP ini mengenai PK-C.  Mulai dari konsep sampai detil yang harus dilaksanakan pendidik apabila mengajarkan PK-C nanti. Bahkan, sepertinya, Prayitno membuat KDMB versinya sendiri. Tak salah, di tengah presentasi, Wisran berbisik, ”Bukankah kategori KDMB sudah diatur dalam Al Quran dan hadis? Kenapa ada versi baru?” tanyanya. Jadi, kalau nanti kerut kening menghiasi kening kita dalam memaknai PK-C ini, harap maklum saja. (***)
[ Red/Redaksi_ILS ]

Tidak ada komentar: