Senin, 22 April 2013

Penerus Kepeloporan Mahasiswa  

Oleh Rifqi Hasibuan

“Darahku merah, dan akan kumerahkan Indonesia”

Kata-kata itu meluncur dalam orasi yang disampaikannya di depan rekan-rekannya. Pagi itu, Agustus 1997, ribuan mahasiswa baru berkumpul di pelataran Auditorium Sekip Universitas Gadjah Mada (UGM). Mereka mengikuti pekan orientasi pengenalan kampus, Opspek. 

Senyap beriringan dengan kegiatan itu, sekelompok mahasiswa melakukan “pengorganisiran”. Kata yang disebut terakhir ini adalah operasi senyap para aktivis pergerakan. Represifitas rezim yang mengharamkan politik kampus kala itu, memaksa mereka bergerak diam-diam. 

Tak banyak kalangan yang mengetahui operasi ini. Para mahasiswa baru itu sedang larut dalam luap kegembiraan. Tak terpikir di benak mereka bahwa gerak-geriknya diamati oleh para aktivis pergerakan. Salah satu dari mereka adalah mahasiswa yang baru saja berorasi di hadapan rekan-rekannya sesama mahasiswa baru.

Perkenalan dengan Dunia Pergerakan
Namanya Willy Aditya. Jauh dari Solok, Sumatera Barat, dia merantau berburu ilmu di kampus biru yang terletak di kawasan Bulaksumur, Yogyakarta itu. Setelah urung dari cita-cita masa kecilnya untuk memasuki dinas militer, dia bertekad mengasah kapasitas akademiknya di Kota Pelajar itu. Lulus tanpa tes dari INS Kayu Tanam almamaternya, di memilih Jurusan Manajemen Hutan UGM. 

Semester pertama dalam dunia barunya, Willy langsung aktif dalam berbagai kegiatan kampus. Pers mahasiswa “Lumut” adalah aktivitas kemahasiswaan pertamanya. Dia juga menginisiasi pembentukan forum diskusi “Selendang Biru” di fakultasnya. Kehadirannya membuat pesat perkembangan organisasi yang rutin membahas tema-tema lingkungan dan kehutanan ini. Dua kegiatan mahasiswa ini merupakan exercise awal yang dilakukan Willy dalam organisasi.

Merasa tak puas dengan komunitas homogen, pecinta basket dan sepak bola ini mulai mencari organisasi yang komposisi anggotanya lebih luas. Setelah berdialektika dengan lingkungannya, Willy memilih bergabung organisasi Masjid Kampus UGM, “Jamaah Salahuddin.” Saat itu dia memandang organisasi ini independen, intelek, kritis dan berkomitmen sosial tinggi. Salah satu kesannya adalah ketika terlibat dalam pemindahan masjid kampus dari gelanggang mahasiswa ke kawasan Lembah UGM. Lokasi pemindahan masjid kala itu masih berupa kuburan, sehingga makam itu harus direlokasi. 

Willy dan rekan-rekan melakukan bakti sosial memindah makam. Baginya, bakti sosial adalah bagian dari komitmen mahasiswa yang harus siap mendarmakan pikiran dan tenaganya untuk masyarakat yang lebih baik. 

Seiring proses penyelaman keorganisasiannya sebagai mahasiswa baru itu, sebuah organisasi bernama Dewan Mahasiswa (DEMA) UGM secara intensif mengirim kader-kadernya untuk mendekati Willy. Bagi mereka, lelaki ini adalah kader yang potensial. 

DEMA adalah salah satu organisasi pergerakan yang lahir dari rahim dinamika kampus UGM. Organisasi ini dideklarasikan tahun 1994 sebagai perlawanan terhadap Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi (SMPT) UGM yang dianggap lembaga korporatif.  SMPT tak lebih dari antek kepentingan negara yang dikendalikan oleh rektorat. Sederet aktivis mahasiswa yang tercatat sebagai deklarator DEMA antara lain Ari Sujito, Velix Wanggai, Titok Hariyanto, Gusti Kurniawan, Amril Buomena, Eric Hieric Sirait, dan aktivis lainnya. DEMA aktif menggalang berbagai kampanye, mulai dari isu demokratisasi kampus hingga isu HAM dan politik nasional.

Setelah melewati berbagai diskusi intensif, akhirnya Willy memutuskan untuk bergabung. Willy melihat ada sesuatu yang lain dari aktivis-aktivis itu. Spektrum intelektualitas, komitmen nilai serta keberanian bertindak, telah memberinya motivasi baru untuk lebih jauh menyelami dunia pergerakan mahasiswa.

Berawal dari organisasi inilah, Willy kemudian melakukan berbagai pendalaman intelektual dan penajaman praktik organisasi pergerakan, khususnya gerakan mahasiswa. Saat itu, hembusan angin reformasi ’98 juga mulai mengencang. Hal itu turut mempercepat akselerasi pergerakan dan kapasitas seorang Willy. Dari titik inilah, dia memulai episode baru penyelaman hidup yang sarat pelajaran dan dinamika. 

Masa kecil hingga remaja: mengasah kebersahajaan
Selain pertimbangan moral, hal lain yang mendorong laki-laki kelahiran 12 April 1978 ini untuk menyelami pergerakan adalah kebutuhan intelektualitas. Kecenderungan itu bukan hal baru baginya. Sejak balita, dia sudah memiliki minat intelektual yang menonjol. Salah satu kebiasaan uniknya adalah meminta dibangunkan setiap malam untuk menyimak siaran “Dunia dalam Berita” TVRI. Willy kecil akan marah jika tak dibangunkan.

Meski begitu, layaknya anak-anak, Willy kecil tak lepas dari sifat badung. Untuk yang satu ini, bahkan dia juga memiliki kadar di atas rata-rata. Semasa TK, dia punya kebiasaan menciumi teman-teman perempuannya di sekolah. Sifatnya ini tak jarang membuatnya bertengkar dengan teman sebayanya.
Di keluarga, perilaku onarnya juga tidak absen. Salah satu yang diingat sampai sekarang adalah ketika dia mengencingi dagangan es yang dijajakan emaknya. Pada suatu titik klimaks, emaknya menelanjangi Willy kecil, mengikatnya di depan rumah, dan memberi cabe pada mulutnya. 

Masa SD dan SMP di Solok, Willy sudah mulai sedikit menyesuaikan diri terhadap lingkungan. Dengan arahan orang tuanya, dia mulai rajin belajar, mengaji, selayaknya anak sekolah seusianya. Menjejak usia SMA, dia masuk ke INS Kayu Tanam, sekolah tertua yang didirikan oleh Muhammad Syafe’i pada tahun 1926 di Kota Padang. Di masa inilah, Willy remaja mulai menemukan lingkungan penyalur energi kreatifnya.
Di sekolah ini, dia dididik menjadi seorang siswa yang melek akademis dan wacana intelektual, dengan bangunan karakter kepribadian yang kuat. Salah satu praktik pendidikan sekolah ini adalah pelajaran menanam. Para siswa diharuskan menanam satu pohon, dan menjaganya hingga siap dimanfaatkan. Ini adalah pendidikan tentang memulai sesuatu, merawat, hingga memetik hasilnya. 

Di sini, Willy juga mulai berkenalan dengan dunia seni dan kesusasteraan. Sastrawan besar AA Navis adalah salah seorang idolanya. Dia juga mulai terlibat dalam forum diskusi, kegiatan ceramah keagamaan, dan aktif menulis berbagai artikel dan puisi secara rutin. Dari kegiatan inilah bakat orasinya terasah.

Salah satu momen penting selama di INS adalah perkenalannya dengan seorang guru eksentrik, Hermansyah. Guru yang biasa dipanggil Ucok itu memperkenalkan dia dengan berbagai wacana yang kurang lazim bagi anak seusia SMA saat itu. Oleh Ucok, Willy mampu membaca habis “Di Bawah Bendera Revolusi,” karya fenomenal Proklamator Soekarno. 

Dalam buku alumni pada masa kelulusan, Willy menulis, “Ingat INS Kayu Tanam adalah mengingat Nasakom.” Pesan yang sangat tidak biasa dibanding pesan masa kelulusan SMA pada umumnya.
Catatan penting lain yang disimpan Willy adalah pelajaran tentang kesederhanaan dan kemandirian. Hidup dari keluarga yang jauh dari kilau kemewahan, Willy sangat akrab dengan kebersahajaan. Sedari pendidikan TK, dia harus menempuh berkilo-kilo meter jarak pulang dan pergi antara rumah dan sekolahnya. Dia melakukan itu tanpa diantar orang tua, apalagi pembantu atau supir pribadi. 

Sepulang sekolah, Willy bermain di kebun, sungai, atau tempat lainnya. Semua itu turut mengasah keterampilannya bergaul dengan alam dan lingkungan. Tradisi itu semakin terasah saat dia menempuh pendidikan SMA di INS Kayu Tanam, yang memberinya banyak pelajaran untuk memilih, mandiri dan beraktulisasi.

Menapak Jalan Reformasi
Ketika menjejak dunia kampus, Willy cepat menyesuaikan diri dengan lingkungan. Gejolak reformasi ’98 merupakan iklim yang sesuai dengan gairah yang sudah tertanam dalam dirinya. Kombinasi antara intelektualitas, keberanian, dan hasrat menembus kebuntuan, adalah ruh yang menggerakkannya terlibat dalam dunia pergerakan. 

Di DEMA, dia berinteraksi dengan banyak aktivis. Siang-malam, bersama kawan-kawan, Willy tak henti mengelaborasi wacana dan mempertajam praktik. Beberapa aktivis yang berjalin tangan dengannya kala itu antara lain Harry Prabowo, Idham Kholiq, dan lain-lain. 

Di puncak gelora reformasi, Willy masih terhitung baru dalam dunia ini. Namun demikian dia cukup aktif dalam berbagai penggodokan wacana untuk menentukan sikap dan posisi organisasi dalam gelombang besar perubahan yang sedang terjadi. Kapasitasnya yang di atas rata-rata membuatnya melejit dibanding kawan-kawan seangkatannya. Dia adalah aktivis muda yang paling bersemangat menyusuri gelombang reformasi. 

Gelegar pergerakan itu menyusut seiring jatuhnya Soeharto dan terselenggaranya Pemilu 1999. Saat itu, gerakan mahasiswa mengalami kegamangan menyikapi momentum politik formal tersebut. Di satu sisi mereka tidak menolak praktik kekuasaan, di sisi lain mereka ragu untuk mengikuti mekanisme yang mereka anggap kompromistis dan tidak selaras dengan gairah pergerakan. Momentum Pemilu ini sekaligus menjadi titik balik gerakan mahasiswa era reformasi. 

Saatnya mahasiswa kembali ke kampus; belajar, kuliah, praktikum, ngegosip, kongkow, dan seterusnya. Demikian banyak kalangan berpendapat. 

Menolak Mundur
Namun itu tak berlaku bagi pria berperawakan tambun ini. Satu pemikiran mengganjal di benaknya. Sekian banyak darah dan nyawa tumpah dan meregang dalam momentum dramatis itu. Pertanyaan yang tersisa, sejauh mana Pemilu 1999 bisa mengawal semangat dan nilai perubahan yang diperjuangkan mahasiswa itu?
Sekali layar terkembang, pantang surut ke belakang. Penurunan eskalasi politik serta anjuran agar mahasiswa kembali ke kampus justru ditanggapi sebaliknya oleh Willy. Dia punya dua kritik untuk gerakan mahasiswa reformasi. Pertama, gerakan ini bersifat spontan, tanpa arahan dan kesiapan matang untuk mengawal perubahan. Kedua, model gerakan yang terfragmentasi secara sektarian. Antitesis dari hal itu, Willy memproyeksikan perlunya satu gerakan mahasiswa tingkat nasional yang progresif dan terpimpin. 

Tentu saja, impian itu tidak mudah. DEMA, hanyalah sebuah organisasi mahasiswa tingkat kampus. Bentuknya juga tergolong cair, mengingat organisasi ini merupakan presidium mahasiswa. Ini ditambah, sebagian anggota sudah aktif di lembaga atau organisasi mahasiswa lain.

Willy tidak patah arang. Untuk mulai mewujudkan ide tersebut, langkah pertamanya adalah melakukan transformasi DEMA. Didukung sebagian besar anggota yang lain, pada tahun itu DEMA bertransformasi menuju bentuk yang lebih solid, dan berganti nama menjadi Serikat Mahasiswa Merdeka (SMM) UGM. Organisasi ini sekaligus mendaulat Willy sebagai pimpinannya.

Setelah itu penggalangan berbagai komite aksi selalu dilakukan. Salah satu yang cukup penting adalah Komite Aksi untuk Pendidikan Kerakyatan (Komite APIK). Diinisiasi oleh SMM, komite ini berhasil menggalang belasan lembaga tingkat Fakultas di UGM. Lembaga-lembaga itu mencakup pers mahasiswa, BEM fakultas, dan yang lainnya. 

Komite APIK dibentuk untuk menyikapi isu komersialisasi pendidikan yang bergulir seiring terbitnya peraturan presiden tentang otonomi kampus. Dalam komite ini, Willy mengonsolidasikan segenap kekuatan mahasiswa progresif yang masih tersisa dan terpecah setelah penurunan iklim reformasi. Tak hanya di UGM, konsolidasi juga diperluas ke berbagai kampus di Indonesia. Isu yang mencuat saat itu, Negara akan melepaskan tanggung jawab untuk membiayai pendidikan tinggi, dan menyerahkan urusan pembiayaan itu pada mekanisme pasar. 

Berbagai aksi kampus maupun aksi nasional dilakukan oleh Komite APIK. Salah satunya digelar saat perayaan Dies Natalis UGM ke-51 pada tahun 2000. Ratusan mahasiswa melakukan aksi rally keliling kampus, sambil membawa obor karena aksi dilakukan di malam hari. Sontak pihak rektorat kelabakan. Mereka mengira para mahasiswa akan membakar gedung pusat. Ikhlasul Amal sebagai rektor waktu itu, dilarikan lewat pintu belakang. Padahal para demonstran hanya bermaksud menemui rektor untuk berdialog.
Periode 1999-2000, hampir semua aksi di UGM yang mengusung isu demokratisasi dan pendidikan kerakyatan selalu melibatkan Willy sebagai jenderal lapangan. Willy rajin mendatangi setiap forum diskusi, pers mahasiswa, hingga lembaga-lembaga intra maupun ekstra kampus. Tak hanya itu, isu tersebut juga dia tularkan di kampus-kampus lain. 

Menggalang Kekuatan Nasional
Seiring kampanye demokratisasi kampus, Willy mulai melakukan penggalangan kekuatan lebih luas. Diskusi dan konsolidasi intensif dilakukan antar organ gerakan. Di level daerah Yogyakarta, konsolidasi melibatkan tujuh kampus. Mereka kemudian sepakat membentuk organisasi tingkat daerah bernama Komite Bersama untuk Kedaulatan Rakyat (KIBLAT) Yogyakarta.

Lagi-lagi, Willy dipercaya untuk memimpin. Dia didaulat sebagai koordinator pembangunan organisasi tingkat nasional. Sebagai representasi KIBLAT Yogyakarta, diapun berkeliling dari kota ke kota di Indonesia. Langkah itu ditempuh untuk mengajak organ-organ gerakan di daerah lain untuk membangun organisasi mahasiswa nasional yang kuat dan progresif. 

Demi melaksanakan amanat tersebut, tak terhitung pengorbanan yang telah dikeluarkannya. Kuliahnya terbengkalai, IP jeblok hingga nol-koma, berbagai barang yang dimilikinya pun banyak dijual, termasuk buku-bukunya. Salah satu yang begitu disesalinya adalah buku Di Bawah Bendera Revolusi, buku kesayangannya. Namun semua itu terpaksa ditempuhnya demi sejarah yang tengah dilakoninya.

Dan semua itu ternyata tidak sia-sia. Tahun 2001, setelah setahun menggalang konsolidasi nasional, terbentuk jaringan organisasi dengan nama Forum Mahasiswa Nasional (FMN). Organisasi ini mencakup gabungan organ-organ mahasiswa tingkat daerah di 11 provinsi Indonesia, mulai dari Sumatera Barat hingga Nusa Tenggara Barat. 

Aksi pertama FMN dilakukan pada awal 2002. John Howard yang sedang berkunjung ke UGM menerima “kehormatan” tersebut. FMN menolak kedatangan Perdana Menteri Australia itu karena dipandang membawa agenda liberalisasi pendidikan di indonesia. Massa aksi FMN waktu itu bergerak secara sporadis, membuat kelabakan rombongan Howard. 

Kembali, Willy Aditya didapuk sebagai komandan aksi. Kemampuan retorikanya yang mumpuni membakar telinga yang tengah punya hajat. Ichlasul Amal sang Rektor menghujat habis-habisan aksi ini. Benturan fisikpun akhirnya tak terhindarkan. Tak kurang dari 14 mahasiswa masuk rumah sakit. Satu hasil dari aksi tersebut adalah penolakan dan wacana kritis tentang otonomi kampus semakin meluas setelah aksi itu.
Usai kejadian itu integritas Willy kembali diuji. Sanksi drop out (DO) diterimanya. Sebenarnya sudah lama rektorat menempatkannya sebagai peringkat satu “anak nakal” di UGM. Namun aksi John Howard inilah yang menjadi momentum untuk menjatuhkan sanksi paling ditakuti oleh para mahasiswa itu. 

Untungnya, solidaritas kalangan kampus UGM untuk Willy mulai meluas. Dukungan berbagai pihak bermunculan, termasuk dari beberapa pihak kampus sendiri. Berkat simpati beberapa kolega, akhirnya Willy masih bisa mengambil kuliah di Fakultas Filsafat di kampus yang sama.

Dan, setiap pengorbanan memang tak pernah sia-sia. Mei 2003 pada hari ke-18, Willy  Aditya bersama kawan-kawan yang lain mendeklarasikan pendirian FMN sebagai Front Mahasiswa Nasional. Kembali, dia dipercaya untuk menjadi pemimpin bagi ribuan anggota organisasi baru ini. Tak kurang 5000 mahasiswa dari berbagai daerah di Indonesia berkumpul di Balai Rakyat, Utan Kayu, Jakarta Timur.

Perubahan dari “forum” menjadi “front” menandai perubahan organisasi secara kualitatif. Sejak saat itu, organisasi-organisasi di bawah kepemimpinan FMN yang berada di tingkat wilayah mau pun tingkat kampus mulai menggunakan identitas FMN. 

Kampanye-kampanye pendidikan maupun respon isu politik nasional semakin gencar dilakukan. Pendidikan gratis, demokratis, ilmiah, berwawasan nasional dan berkarakter kerakyatan adalah motto perjuangan pendidikan yang diusung FMN. Salah satu tuntutan utama yang disuarakan oleh FMN kala itu adalah 20% APBN untuk pendidikan, di samping isu-isu lainnya. 

Memuliakan hidup dengan pergerakan
Setelah dengan susah payah, tahun 2004, Willy akhirnya bisa menyelesaikan tugasnya sebagai seorang pelajar di Fakultas Filsafat UGM. Kelulusan ini merupakan sebuah berkah baginya, karena dia sempat merasa tidak akan mampu menyelesaikan kuliahnya mengingat jarak Jakarta-Yogyakarta. Kampusnya di Jogja sementara aktifitas gerakannya di Jakarta.

Bagi Willy, menjadi kaum pergerakan adalah jalan hidupnya. Selepas dari FMN dia mendirikan Perhimpunan Rakyat Pekerja (PRP), tepatnya pada 22 Agustus 2004. Tak kurang dari 3000 orang menjadi anggotanya. Mereka terdiri dari kalangan buruh, petani, pemuda dan mahasiswa dari berbagai daerah. Deklarasi itu sekaligus mengukuhkan kepemimpinan Willy sebagai Sekretaris Jenderal PRP, posisi pucuk kepemimpinan kala itu. 

Salah satu agenda PRP adalah melakukan pembangunan organ-organ gerakan rakyat yang progresif, terutama dari kelompok buruh dan petani. Selama proses itu, Willy sempat terinspirasi para tokoh pergerakan dengan melakukan “bunuh diri kelas.” Bersama Arif Rahman Hakim,[1] Dedi Ramanta[2] dan beberapa kawan lain, dia menetap di kawasan buruh kota Tangerang. Berbekal keyakinan dan tekad perjuangan, mereka menjalani hidup apa adanya, tinggal bersama di satu kamar kecil, kumuh, dengan uang pas-pasan.

Willy benar-benar total sebagai pimpinan organisasi sekaligus organizer kader. Satu bentuk totalitasnya terlihat saat PRP melakukan aksi menolak kenaikan harga BBM di depan Istana Negara, tepat pada hari raya Idul Fitri tahun 2005.

Tak kurang dari dua tahun Willy menjalani totalitas ini. Sampai pada suatu titik, dia merasakan ada sesuatu yang kurang pas dalam membangun gerakan, khususnya di sektor buruh. Di satu sisi, buruh adalah kelompok marjinal yang tersisih oleh sistem, namun di sisi lain mereka memiliki keterbatasan sangat nyata dalam dinamika perjuangan. Hidup mereka sudah habis dalam perjuangan bertahan hidup, sehingga sangat sulit untuk ditarik menuju kesadaran kolektifnya.

Pada saat yang sama, Willy mulai terbentur pada berbagai tuntutan mendasar. Mustahil bagi dia bertahan terus menjadi aktivis, dengan hidup nomaden dan makan seadanya. Tak mungkin baginya meminta para buruh untuk mencukupi kebutuhannya sementara kondisi ekonomi mereka sendiri sangat terbatas. Kalaupun mereka membayar iuran, itu hanya cukup untuk mencukupi kebutuhan minimal organisasi. 

Akhirnya, mau tak mau dia harus bekerja. Keterlibatannya dalam organisasi pun harus dibaginya dengan beban tugas dari kantornya, Voice of Human Rights (VHR). Tahun 2006, akhirnya Willy memilih tidak aktif dalam PRP. Beban kerja dan ketidaksepakatannya terhadap beberapa hal dalam organisasi membuatnya mengambil jalan tersebut. Pas dengan masa itu, datang panggilan beasiswa S2 di Cranfield University. 

Sembari itu, Willy tetap aktif terlibat dalam berbagai forum-forum komunikasi antar aktivis. Salah satu pengalaman di masa ini adalah ketika dia menjadi pemateri di salah satu forum diskusi di Bandung. Saat itu dia menjadi pembicara. Baru saja dia hendak angkat bicara, tiba-tiba sekelompok milisi bersenjata membubarkan forum itu. Mereka menganggap forum itu berniat menghidupkan kembali komunisme – sesuatu yang sudah aneh sebenarnya saat itu. Buntut dari insiden tersebut Willy sempat mengasingkan diri selama beberapa hari. 

Tak bisa ke lain hati
Tahun 2008 Willy mulai masuk di dunia profesional. Dia menjadi salah satu konsultan di lembaga donor asing, GTZ. Willy sudah memiliki seorang putera saat itu, buah perkawinannya dengan Yemmi Livenda, teman sekolah masa SMP sekaligus masa kuliahnya. 

Secara ekonomi, GTZ memberikan penghasilan yang terhitung cukup untuk membiayai keluarganya. Kenyataannya, Willy tetap tidak bisa lepas dari dunia politik dan pergerakan. Dia tak bisa ke lain hati. Kerinduannya terhadap dunia pergerakan membuatnya terpanggil mengikuti ajakan kawan-kawannya dalam berbagai momentum. 

Salah satunya pada tahun 2009 saat Dadang Juliantara, kawan sekaligus mentor politik, mengajaknya bergabung dalam sebuah tim politik. Dia diminta secara khusus untuk bergabung dengan Merti Nusantara, yang mengusung figur Sri Sultan Hamengku Buwoni X sebagai calon presiden RI. GTZ pun ditinggalkannya.
Dari titik itulah, Willy mulai aktif kembali dalam berbagai momentum dan konsolidasi politik. Pada masa itu pula, dia membangun sebuah lembaga analisis politik bernama Populis Institute. Lembaga ini dibangun guna mendukung kebutuhan aktualisasi wacana, pemikiran, dan berbagai exercise politik yang diperlukan. 

Orang bilang, kehidupan ini ada yang mengatur. Gagalnya Sri Sultan HB X masuk bursa calon presiden pada 2009, membuat Willy sempat terlunta-lunta. Namun siapa sangka, hal itu membuatnya bertemu dengan Surya Paloh, pengusaha media sekaligus tokoh politik. Oleh Paloh, Willy diajak mendirikan organisasi kemasyarakatan Nasional Demokrat. Willy bahkan menjadi salah seorang konseptor organisasi yang mengusung gagasan Restorasi Indonesia ini. Di organisasi ini, dia dipercaya menjadi Wakil Sekretaris Jenderal Bidang Perencanaan, Penelitian, dan Pengembangan. 

Di tengah dinamika Nasional Demokrat, Willy masih teringat impian lamanya. Dia telah berhasil membangun organisasi pergerakan progressif berskala nasional. Namun, masih ada satu hal yang belum tuntas, yaitu cita-citanya untuk mengembalikan kebebasan mahasiswa berpolitik, khususnya untuk berpartai. 

Refleksinya terhadap perjuangan reformasi ’98 masih terus melekat dalam memorinya. Perjuangan mahasiswa selama gelombang reformasi belum menghasilkan output demokratisasi yang optimal karena diserobot oleh para elit politik oportunis. Di sisi lain, mahasiswa masih cenderung apriori terhadap partai politik. 

Atas pertimbangan itu, dengan dukungan Ketua Umum Nasional Demokrat, Surya Paloh, akhirnya tanggal 9 November 2011 dideklarasikan berdirinya Liga Mahasiswa NasDem (LMN). Lagi-lagi dia didapuk sebagai ketua umumnya. Berbeda dengan mainstream organisasi mahasiswa yang cenderung anti partai, LMN didirikan justru sebagai tulang punggung bagi partai politik: Partai NasDem. Karena itulah, semboyan LMN adalah “Belajar, Berpartai dan Berbakti.” 

Membangun peradaban
“Banyak orang membuat sejarah, tapi tak banyak yang membuat peradaban.” Itulah ungkapan yang dipegang Willy hingga saat ini. Dalam ungkapan itu, termuat pertautan antara nilai individu dan nilai kolektif. Individu hidup dengan kebutuhan dan tuntutan eksistensinya, tapi dia tak pernah lepas dari konteks sosial yang melingkupinya.

Itulah ruh pergerakan yang diyakini Willy. Seseorang baru eksis ketika dia berada dalam lingkup kolektif manusia. Solidaritas adalah satu kata kunci yang menjembatai indivdu dengan ruang sosial. Prinsip itu juga mendasari pilihan Willy untuk terjun kembali ke arena politik dan pergerakan. 

Willy memandang bahwa aktivitas politiknya adalah bagian dari membangun masa depan yang lebih baik; baik bagi anak-anaknya maupun seluruh anak yang terlahir di bumi pertiwi. Bayi-bayi yang terlahir dengan beban utang negara sebesar 6 juta sekarang ini, membutuhkan negara yang lebih baik agar bayi-bayi berikutnya tak perlu menanggung beban hari ini.

Quantum Ikhlas, Willy meresapi nilai itu sebagai pengiring aktivitasnya. Tak perlu terlalu pusing memikirkan apa yang akan didapat. Ketika sesuatu dilakukan dengan keyakinan, itu sudah menjadi capaian tersendiri. Output materiil, adalah efek tak langsung dari perbuatan itu. Tidak semua bisa dikalkulasi secara meteriil, tetapi tindakan yang dilakukan dengan keyakinan akan diiringi dengan capaian yang tak terkirakan.
Kalkulasi hanya memperberat langkah untuk bergerak. Sebaliknya, keikhlasan berbuat akan mendukung akselerasi dan daya kreasi penciptaan. Tentu, semua itu harus dilakukan berdasar orientasi merubah peradaban, bukan sekadar orientasi eksistensial. 

Banyak sudah catatan di museum-museum rekor. Setiap orang berlomba-lomba memasukkan sejarahnya dalam catatan-catatan itu. Tak ada salahnya memang mengejar itu semua. Namun lebih mulia jika kita bisa menggesernya ke arah perbaikan peradaban. 

Begitu banyak orang yang berhasil membuat sejarah, tetapi begitu terhitungnya mereka yang mau berpikir tentang kemajuan peradaban. Dan Willy Aditya adalah satu di antara yang terhitung itu.


[1] Sekarang Sekjend Liga Mahasiswa Nasdem (LMN)
[2] Sekarang Direktur Sekolah Demokrasi Tangerang Selatan

Tidak ada komentar: