Kamis, 29 September 2011

Dimensi Moral dan Keutamaan Pengambilan Keputusan dalam Militer

Willy Aditya
Dalam membahas apa yang menjadi latar belakang pengambilan keputusan moral (perang atau tidak perang, bagaimana berperang, dan sebagainya), harus dilihat nilai dasar militer dan sipil dalam sebuah masyarakat/negara. Menurut Hegel, inti dari realitas (reality) adalah pemikiran (reason/Vernunft). Kenyataan, seperti yang dipaparkan Fichte dalam Ethical Idealism, adalah tak lebih dari materi untuk mengisi kewajiban (obligation) kita. Sebaliknya, tugas (duty), adalah cara bagaimana pemikiran (reason) muncul dalam sejarah dan bahkan menentukan sejarah, kenyataan hidup kita, manusia. Selanjutnya, dalam memenuhi tugasnya, manusia hidup dalam harmonisasi normatif sesuai dengan realitas (reality), karena dalam kondisi yang demikian manusia dapat berperan dalam kerangka pemikiran (methexis). Dalam hal ini, Fichte menggolongkan tindakan apa yang dilakukan seseorang untuk mencapai keabadian.

Dalam segi dimensi praktis, Kant menjelaskan bahwa diperlukan usaha yang serius untuk menyadari landasan moral manusia, karena di lain pihak manusia sebetulnya tidak memiliki kemauan (will) yang baik, melainkan hanya keinginan (wish) yang baik, di mana kekuatan moral menjadi tidak relevan. Sikap moral menuntut tidak hanya tujuan yang baik namun juga usaha yang serius untuk mewujudkan tujuan baik tersebut. Tak seorang pun diharuskan meraih kesuksesan, karena manusia bukanlah penguasa takdir. Meski demikian, manusia harus melakukan apa saja yang memungkinkannya untuk meraih sukses. Hukum ini berlaku baik pada moral dalam arti sempit (micro-moral) maupun pada tingkat pengambilan dan pemberlakuan keputusan (macro-moral). Gambaran intrinsik dari argument penulis terletak pada penggabungan “momen” tersebut ke dalam sebuah sistem yang ringkas dari aspek dialektika moral dalam pengambilan keputusan militer.

Prasyarat dari sebuah perang moral (misalnya Humanitarian Military Intervention) tidak melulu hanya terdiri atas tujuan moral dari sebuah keputusan politis, namun juga usaha yang memadai untuk memenuhi tugas kemanusiaan. Bila kita menyoroti usaha untuk memenuhi tugas kemanusiaan, perang yang efektif dan memuaskan biasanya dipimpin oleh seorang militer yang jenius yang memimpin pasukan yang berbudi luhur dan memiliki semangat mengabdi. Prasyarat untuk angkatan bersenjata yang berbudi luhur dan semangat mengabdi adalah rasionalisasi dari keputusan di semua level mulai dari strategi menyeluruh (grand strategy) “turun” hingga medan perang. Bahkan pada tingkat mikro-moral ini, realisasi keputusan moral harus diambil secara serius; bila tidak keputusan itu tidak dapat disebut sebagai sebuah tindakan moral. Oleh karena itu penting untuk moralitas intervensi humanitarian, bahwa setiap keputusan, baik pada tingkatan mikro yang diambil dari sisi moral bahwa, dibuat dengan tujuan melakukan usaha yang serius untuk menghentikan kekerasan terhadap hak asasi manusia.


Moral di sini bukanlah merujuk pada moral agama, tetapi moral politik atau moral publik. Moral politik ini telah jauh sebelumnya menawarkan keutamaan yang terbebat dalam moral publik. Seperti pernah dikemukakan oleh Plato dalam Politeia (Republik), bahwa republik adalah konstitusi dalam pengertian suatu jalan atau cara bagi individu-individu dalam berhubungan sesamanya dalam pergaulan hidup atau masyarakat. Sehingga menurutnya, harus ada keselarasan kepentingan antara orang-orang dengan negara atau masyarakat, tetapi keselarasan itu menurut pendapatnya bukanlah dengan menyamakan kepentingan orang-seorang tadi, melainkan sebaliknya, yaitu kepentingan orang-seoranglah yang harus disesuaikan dengan kepentingan masyarakat. Keadilan tersebut dapat tercapai bila tiap orang melakukan dan mengabdikan diri pada fungsi masing-masing sepenuh-penuhnya.

Moral publik, juga terkait dengan menempatkan kepentingan publik atau kemaslahatan umum di atas kepentingan yang lain. Aristoteles dalam hal ini menjelaskannya dalam definisinya atas hakikat negara. Menurutnya negara adalah suatu gabungan dari bagian-bagian, dan bagian-bagian ini, menurut urutan besarnya adalah kampung, famili (keluarga), dan individu. Dalam hubungan inilah, manusia itu adalah makhluk politik (zoon politicon), artinya makhluk masyarakat atau makhluk negara, yang mencapai kesempurnaan hanya dalam masyarakat atau negara. Pun dengan Machiavelli, dengan negara yang disebutnya republik dan yang rakyatnya tidak korup dan oleh sebab itu dapat memerintah diri sendiri. Lebih lanjut, menurutnya suara rakyat adalah suara Tuhan. Sehingga pendapat umum lebih berharga daripada pendapat seseorang, sehingga langkah yang akan diambil lebih baik bergantung pada kehendak pendapat umum itu. Dengan kata lain, pengabdian di medan publik mensyaratkan pelepasan kepentingan-kepentingan pribadi dan golongan.

Moral publik atau virtue dalam pengertian virtue warga negara, dipahami oleh Machiavelli lebih dalam kerangka kelanjutan hidup dari republik. Ia mengakui bahwa jaminan utama pendirian sebuah republik adalah aktivitas politik dan militer dari seluruh warga yang bertanggungjawab. Sedangkan virtue yang dilekatkan pada pangeran lebih merujuk pada sifat-sifat keberanian, ketegasan, dan kesiapan untuk menghadapi segala kemungkinan. Virtue menjadi ukuran dari kualitas sebuah keputusan politik atau kebijakan publik. Virtue jarang disebutkan, namun manakala teraktualisasi dalam suatu keputusan politik virtue menumbuhkan kekaguman.

Jakarta, 15 Oktober 2008

Tidak ada komentar: