Kamis, 29 September 2011

Negara Maritim Indonesia: Takdir Sejarah Kita

 Willy Aditya dan M. Taufik

“Nenek moyangku orang pelaut
Gemar mengarung luas samudra
Menerjang ombak tiada takut
Menempuh badai sudah biasa.”

Itulah sepenggal lagu kanak-kanak yang ditulis oleh Ibu Sud. Sepertinya, tidak berlebihan memang bila Ibu Sud menyebut bahwa nenek moyang orang Indonesia adalah pelaut – pelaut handal.

Dari berbagai belahan penjuru Nusantara tersebar banyak bandar atau pelabuhan besar. Juga banyak peninggalan budaya yang melukiskan kegagahan nenek moyang orang Indonesia sebagai pelaut. Sejarah pun telah menyebutkan bahwa bersatunya Nusantara adalah karena kebesaran armada maritim.

Sejak abad ke-9 Masehi, bangsa Indonesia telah berlayar jauh dengan kapal bercadik. Mereka ke Utara mengarungi lautan, ke Barat memotong lautan Hindia hingga Madagaskar, ke Timur hingga Pulau Paskah. Dengan kian ramainya arus pengangkutan komoditas perdagangan melalui laut, mendorong munculnya kerajaan-kerajaan di Nusantara yang bercorak maritim dan memiliki armada laut yang besar.

Pada masa lalu di era kerajaan Sriwijaya, Majapahit hingga Demak, Indonesia adalah negara besar yang disegani di kawasan Asia, bahkan mungkin di seluruh dunia. Berbagai negara mulai dari Tumasik, Pasai, hingga Campa tunduk oleh kegagahan armada kapal Sriwijaya dan cetbang (meriam api) Majapahit.


Sebagai kerajaan maritim yang kuat di Asia Tenggara, Sriwijaya (683-1030 M) telah mendasarkan politik kerajaannya pada penguasaan alur pelayaran dan jalur perdagangan serta menguasai wilayah-wilayah strategis yang digunakan sebagai pangkalan kekuatan lautnya. Angkatan Kerajaan Sriwijaya umumnya telah ditempatkan di berbagai pangkalan strategis dan mendapat tugas mengawasi, melindungi kapal-kapal dagang yang berlabuh, memungut biaya cukai, serta mencegah terjadinya pelanggaran laut di wilayah kedaulatan dan kekuasaannya.

Petualang Tiongkok, I Tsing, mencatat, Shih Li Fo Shih (Sriwijaya) adalah kerajaan besar yang mempunyai benteng di Kotaraja, armada lautnya amat kuat. Guna memperkuat armada dalam mengamankan lalu lintas perdagangan melalui laut, Sriwijaya memanfaatkan sumber daya manusia yang tersebar di seluruh wilayah kekuasaannya yang kini disebut kekuatan pengganda".

Sayang, Sriwijaya hanya negara maritim tidak sekaligus sebagai agraris, maka ia tak bertahan lama. Pengalaman sejarah menunjukkan bahwa kota pelabuhan harus ditopang oleh hasil pertanian yang menjadi komoditas unggulan dari wilayah pedalaman. Ketangguhan agraria dan maritim adalah pilar-pilar utama untuk kejayaan Nusantara.

Ketangguhan agraris dan maritim pertama kali ditunjukkan oleh Singasari di bawah pemerintahan Kertanegara pada abad ke-13. Dengan kekuatan armada laut yang tidak ada tandingannya, pada tahun 1275 Kertanegara mengirimkan ekspedisi bahari ke Kerajaan Melayu dan Campa untuk menjalin persahabatan agar bersama2 dapat menghambat gerak maju Kerajaan Mongol ke Asia Tenggara. Tahun 1284, ia menaklukkan Bali dalam ekspedisi laut ke timur.

Puncak kejayaan maritim nusantara terjadi pada masa Kerajaan Majapahit (1293-1478). Di bawah Raden Wijaya, Hayam Wuruk dan Patih Gajah Mada, Majapahit berhasil menguasai dan mempersatukan nusantara. Pengaruhnya bahkan sampai ke negara-negara asing seperti Siam, Ayuthia, Lagor, Campa (Kamboja), Anam, India, Filipina, China.

Kejatuhan Majapahit diikuti munculnya Kerajaan Demak. Kebesaran Kerajaan Demak jarang diberitakan, tetapi bukti kekuatan maritim Kerajaan Demak mampu mengirim armada laut yang dipimpin Pati Unus yang bergelar Pangeran Sabrang Lor membawa 100 buah kapal dengan 10.000 prajurit menyerang Portugis di Malaka.

Kilasan sejarah itu memberi gambaran, beberapa kerajaan di Nusantara mampu menyatukan wilayah luas dan disegani bangsa lain karena kehebatan armada niaga, keandalan manajemen transportasi laut, dan armada militer yang mumpuni. Sejarah telah mencata dengan tinta emas bahwasannya Sriwijaya dan Majapahit pernah menjadi center of excellence di bidang maritim, kebudayaan, dan agama di seluruh wilayah Asia Tenggara.

***

Kejayaan para pendahulu negeri ini dikarenakan kemampuan mereka membaca potensi yang mereka miliki. Ketajaman visi dan kesadaran terhadap posisi strategis nusantara telah membawa negara ini disegani oleh negara-negara lain.

Namun sayang, kini kejayaan masa lalu bangsa Indonesia ini tidak lagi banyak dikenang. Kejayaan tersebut seakan tertutup oleh potret kemiskinan yang melanda rakyat Indonesia. Kecintaan kita kepada laut juga sepertinya semakin dangkal. Rasa keberpihakan negara terhadap dunia maritim pun masih lemah. Meski Departemen Kelautan dan Perikanan sudah dibentuk namun fokus pembangunan negara ini masih berfokus di sektor “darat”. Bahkan sejumlah kalangan masih menganggap sektor kelautan merupakan sebuah beban dibandingkan sebuah aset berharga. “Memang harus diakui bahwa rasa keberpihakan kita terhadap sektor kelautan masih sangat kurang. Itu sebabnya masih ada yang beranggapan bahwa laut sebagai sebuah beban dan bukan sebagai aset yang berharga, padahal dalam kenyataannya sektor ini sangat berpotensi jika digarap secara baik,” kata Staf Ahli Menteri Kelautan dan Perikanan, Suseno.

Bangsa ini seakan tidak lagi menampakkan sisa-sisa kebesarannya, seperti halnya lagu “Nenek Moyangku Orang Pelaut” juga tidak lagi banyak dinyanyikan oleh anak-anak di negeri ini. Padahal telah jelas wilayah negeri ini 2/3-nya berupa lautan. Pantainya merupakan pantai terpanjang di dunia setelah Kanada dengan panjang 81.000 km. Dengan luas laut 5,8 juta km2 (luas kawasan laut tersebut terdiri dari wilayah Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) seluas 2.7 juta km2 dan Laut Teritorial sebesar 3.1 juta km2) dengan bertabur pulau-pulau yang berjumlah 17.506 menjadikan Indonesia sebagai negara dengan laut terluas di dunia.

Kondisi geografis ini diperkuat dengan kenyataan bahwa Indonesia berada pada posisi geopolitis yang penting yakni Lautan Pasifik dan Lautan Hindia, sebuah kawasan paling dinamis dalam percaturan politik, pertahanan dan keamanan dunia. Alasan di atas sudah cukup menjadi dasar untuk menjadikan pembangunan kelautan sebagai arus utama (mainstream) pembangunan nasional. Industri di pesisir dan laut seperti pabrik minyak dan gas, transportasi, perikanan, dan pariwisata mewakili 25% dari Pendapatan Domestik Bruto (PDB) negara dan 15% dari lapangan pekerjaan di Indonesia. Lebih dari 7000 kampung pesisir di Indonesia menggantungkan hidupnya pada sumberdaya hayati laut.

Di dalam semua fakta tersebut, terkandung potensi dan kekayaan alam bahari yang begitu luar biasa. BEI NEWS menyebut segala kandungan yang ada di dalam rahim sektor bahari kita dengan “Raksasa yang Sedang Tidur”. Betapa tidak, menurut data dari Departemen Kelautan dan Perikanan, total nilai ekonomi semua potensi ikan kita mencapai US$ 82 miliar per tahun. Sayang potensi ini dioptimalkan 40 persennya saja. Ini pun masih banyak mengalami “kebocoran” dengan kasus penjarahan oleh nelayan maupun kapal asing.

Potensi-potensi yang lain seperti pariwisata, pelayaran, pertambangan dan energi,industri dan jasa maritim, adalah juga potensi yang masih “tertidur” hingga saat ini. Semua ini terjadi karena belum adanya visi maritim yang jelas di negara bahari ini.

***

Namun tidak sesederhana itu ternyata bayang keinginan untuk mewujudkan visi maritim sebagai mainstream bagi negara Indonesia. Berbagai kendala menjadi masalah tersendiri bagi upaya ini.

Masalah utama adalah masalah paradigma. Paradigma darat/agraris masih kuat melekat pada kebanyakan masyarakat Indonesia, termasuk pemerintahnya. Bangsa Indonesia masih mengidap kerancuan identitas. Di satu pihak mempunyai persepsi kewilayahan tanah air, tetapi memposisikan diri secara kultural sebagai bangsa agraris dengan puluhan juta petani miskin yang tidak sanggup kita sejahterakan, sedangkan kegiatan industri modern sulit berkompetisi dengan bangsa lain, antara lain karena budaya kerja yang berkultur agrarian konservatif, disamping berbagai inefisiensi birokrasi dan korupsi. Industri pun kita bangun tidak berdasar pada keunggulan kompetitif namun pada keunggulan komparatif, tanpa kedalaman struktur dan tanpa masukan keilmuan dan teknologi yang kuat.

Akibat dari hal ini adalah pembangunan perekonomian maritim dan pembangunan sumber daya manusia tidak pernah dijadikan arus utama pembangunan nasional, yang didominasi oleh persepsi dan kepentingan daratan semata. Dewan Kelautan Nasional memang pernah dibuat tetapi dengan mandat terbatas dan menduduki hirarki yang tidak signifikan dalam kelembagaan pemerintahan.

Jika masalah paradigma ini tidak selesai maka tidak akan ada visi maritim yang sesungguhnya. Tidak adanya visi ini akan membuat pembangunan di sektor bahari hanya sekadar “formalitas” belaka memenuhi tuntutan sebagian kalangan. Ini bisa kita lihat pada kasus Dewan Maritim Indonesia (DMI). Selama ini DMI hanya berperan sebagai lembaga konsultatif yang memberikan masukan pada Presiden. Sebagai eksesnya Inpres No. 5/2005 tentang Program Pemberdayaan Industri Pelayaran Nasional tidak berjalan dengan semestinya karena berbagai pihak yang mendapat amanat tersebut belum mampu berkomunikasi secara maksimal. Sementara, selama ini kegiatan sektor kemaritiman melibatkan banyak instansi seperti Departemen Perhubungan, Departemen Perdagangan, Departemen Keuangan, Departemen Kelautan dan Perikanan, serta aparat penegak hukum di laut.

Sebagai akibat dari belum adanya kejelasan visi maritim tersebut adalah masalah-masalah yang faktual di lapangan, seperti masalah perbatasan dengan beberapa negara tetangga, masalah infrastruktur kemaritiman yang masih kurang memadai seperti armada laut yang jauh dari memadai. Bayangkan pertahanan laut serta teknologi kelautan.

***

Epilog

Agaknya, memang bukan pekerjaan mudah mengembalikan kejayaan yang pernah kita capai. Namun, yang tidak mudah itu bukan berarti tidak bisa. Kita bisa seperti para pendahulu kita jika bisa dengan tepat dan ada kemauan untuk mulai berkomitmen penuh terhadap pembangunan maritim yang sesungguhnya.

Alhasil apa yang menjadi masalah bagi visi maritim Indonesia? Masalahnya adalah bahwa kita harus menuntaskan jati diri bangsa sebagai penghuni negara kepulauan, dan perlu mempunyai visi dan strategi yang cerdas dan kreatif untuk keluar dari paradigma agraris tradisional ke arah paradigma maritim yang rasional dan berwawasan global.


Endnotes:
Sumardjono, Laksamana TNI, http://forum.detik.com/showthread.php?t=7475
Djoko Pramono, Budaya Bahari, 2005
Sumardjono, Laksamana TNI, http://forum.detik.com/showthread.php?t=7475
Ibid
Ibid
Djoko Pramono, Budaya Bahari, 2005
Sinar Harapan, 26 November 2008
Marthen Welly, Laut Indonesia Antara Harapan dan Kenyataan, 2008
BEI NEWS Edisi 25 Tahun V, Maret-April 2005
Sarwono Kusumaatmadja, Visi Maritim Indonesia: Apa Masalahnya? 3 Agustus 2005
http://portal.inaport2.co.id/index.php?mod=berita&idx=262
Sarwono Kusumaatmadja, Visi Maritim Indonesia: Apa Masalahnya? 3 Agustus 2005



Tidak ada komentar: