Jumat, 30 September 2011

Gerakan Demokrasi di Indonesia


Jakarta, Webnasdem - Gerakan prodemokrasi di Indonesia bisa meluas ketika kondisi objektif di tengah kehidupan masyarakat mengalami krisis berkepanjangan. Demikian disampaikan Wakil Sekjen Nasional Demokrat Willy Aditya dalam diskusi Gerakan Demokrasi di Asia bersama anggota Dewan Pertimbangan Presiden Myamar yang diadakan Friedricht Ebert Stiftung (FES) Indonesia di Jakarta, (26/9).

Dalam sejarahnya, lanjut Willy, demokrasi sulit berkembang dimasa Orde Baru berkuasa. Ini dikarenakan semua organisasi sipil dikooptasi oleh Negara. Kondisi ini meyebabkan beberapa organisasi sipil dihadapkan pada situasi yang selalu dikontrol penuh, sehingga untuk membiakkan nilai-nilai demokrasi di tengah masyarakat menemui kendala.

“Semua organisasi sipil di Indonesia, NGO, dikooptasi oleh negara, dan itu semua harus mendapat restu negara. Jika pun ada, hanya sedikit orang yang berani menggelindingkan isu demokrasi, seperti Mukhtar Pakpahan, Sri Bintang Pamungkas, dan lain-lain,” katanya.

Willy melanjutkan, meletusnya gerakan 27 Juli 1996 merupakan momentum lahirnya gerakan prodemokrasi. Gerakan yang dipelopori aktivis Budiman Sudjatmiko ini telah menelorkan iklim demokrasi serta melahirkan partai baru. Sebelumnya Indonesia hanya mengenal dua partai dan satu organisasi kekaryaan, Golkar.


“ Soeharto ketika berkuasa selalu didukung tiga pilar yaitu, ABRI, Birokrasi, dan Golkar,” tambah Willy.

Menurut lulusan Defence Studies Cramford University ini, kondisi sosial politik kala itu  mengalami degradasi kepercayaan dari rakyat. Sistem pemerintahan yang dibangun Soeharto sarat nepotisme. Ini terlihat saat jenderal bintang lima itu menempatkan anak-anaknya pada pos-pos penting di setiap institusi negara.

“Ada program mobil nasional yang dikomandoi Tommy dan Bambang, serta Tutut yang menguasai proyek pembangunan jalan tol. Tidak hanya itu, yang lebih krusial adalah saat Tutut masuk dalam Kabinet Pembangunan,” katanya.

Willy yang juga aktivis 1998 ini mengatakan, puncak terjadinya gerakan prodemokrasi dimulai pada akhir 1997 dan pada awal 1998. Kondisi objektif waktu itu mendorong rakyat untuk melakukan perubahan akibat krisis ekonomi dan politik yang sulit diatasi pemerintah. Dia mengatakan, kejengahan rakyat saat itu bukan disebabkan oleh isu politik, tetapi lebih karena kondisi yang terjadi.

Banyaknya PHK di sejumlah perusahaan ternyata belum mampu membawa gerakan massif di masyarakat. Menurut Willy, faktor utama pemicu gerakan rakyat dan gerakan mahasiswa adalah krisis ekonomi. "Yang terjadi adalah amuk massal, bukan gerakan rakyat," katanya.

Di sisi lain, terjadi ironi pada sejumlah aktivis demokrasi saat itu. Banyak aktivis berhenti mengawal proses demokrasi setelah rezim Orde Baru tumbang. "Banyak aktivis mahasiswa yang merasa sudah menang. Dan tentu saja itu salah,” kata Willy mengakhiri. (008)

Tidak ada komentar: