Jumat, 30 September 2011

Restorasi Bangsa Mutlak Belajar Sejarah


PADANG--MICOM: Tak hanya otoriter, pemerintahan orde baru yang berlangsung hampir empat dekade juga membungkam sejarah. Padahal, memahami nasionalisme mutlak belajar sejarah.

Dalam seminar internasional bertajuk Nationalism in Indonesia and Other Southeast Asian Countries di Fakultas Sastra, Universitas Andalas (Unand) Padang, Jumat (3/6), Sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Taufik Abdullah menegaskan, bagaimana anak muda memahami nasionalisme jika belajar sejarah dibatasi.

"Pada sekolah Sekolah Menengah Atas (SMA), pelajaran sejarah hanya satu kali seminggu," katanya.

Padahal, dia menambahkan, menghayati pancasila mesti mempelajari nilai-nilai yang terkandung dalam sejarah bangsa ini. Mantan Ketua LIPI ini menjelaskan, agar tak berlarut dalam penyesalan, mencari landasan baru untuk memaknai pancasila mutlak dilakukan...


Dalam seminar sehari ini, berbagai sejarawan juga ikut menyumbangkan pemikiran mengenai nasionalisme Indonesia kekinian. Antara lain, Sejarawan Australia Robert Gribb, Sejarawan mengenai Asia Tenggara Anthony Reid, Sejarawan Unand Israr Iskandar, Petrus Ana Andung, IG Krisnadi, Lindawati, Undri, Flores Tanjung, dan lainnya. Tidak hanya itu, organisasi masyarakat Nasional Demokrat juga memberi sumbangsih pemikiran dalam memahami kembali nasionalisme yang ideal bagi Indonesia kedepannya.

"Kita merasa, praktek penggalian nasionalisme harus dimulai dari kampus. Makanya kita melibatkan diri dalam seminar seperti ini," ujar Wakil Sekretaris Jenderal Nasdem Willy Aditya.


Dia menjelaskan, salah satu konsentrasi Nasdem dilakukan dengan menumbuhkembangkan anak muda untuk memahami nasionalisme dengan cara terlibat langsung untuk menggalinya.

"Selama ini pembelajaran nasionalisme hanya bersifat formalitas di sekolah-sekolah melalui mata pelajaran Sejarah, PPKN dan Tata Negara. Kita mendorong nasionalisme ditumbuhkembangkan dengan memberi kesempatan pada anak-anak sekolah untuk membaca pidato M Yamin tentang Pancasila, pidato Bung Karno tentang Pancasila, pokok pikiran M Hatta, Tan Malaka, dan bapak bangsa lainnya," terangnya.

Jadi, sambung Willy, guru harus memposisikan diri sebagai fasilitator, dan biarkan siswa untuk berpikir. "Hal tersebut akan meminimalisir anak muda untuk bersikap pragmatis kedepannya," ungkapnya.

Dalam seminar tersebut, Willy membawakan makalah dengan tema Peran Generasi Muda dalam Mengisi Nasionalisme.

"Intinya kita ingin merestorasi karakter bangsa menjadi disegani dimata bangsa lain," tegasnya.

Hal ini, lanjutnya, tak terlepas dari pengalaman seringnya bangsa Indonesia dilecehkan Negara lain terutama Malaysia. "Orang-orang Malaysia sering menyebut orang Indonesia Indon, padahal itu artinya budak," pungkasnya.

Membangkitkan nasionalisme ini, dia menambahkan, generasi muda harus diberi peran aktualisme nasionalisme secara nyata. (OL-12)
Media Indonesia, 04 Juni 2011

Tidak ada komentar: