Selasa, 04 Oktober 2011

Restorasi Kepartaian dalam Semangat Pencerahan

Willy Aditya**

Usai pemilu, partai politik kembali menjadi fokus pemberitaan di beberapa media nasional. Mencuatnya wacana sistem kepartaian, berkaitan dengan usulan Badan Legislasi DPR untuk merubah UU Paket Politik. SP tanggal 8 dan 9 Juni 2010 menampilkan beberapa ulasan tentang fungsi dan tugas partai politik dalam menjalankan pendidikan politik, komunikasi politik, dan advokasi politik kepada publik. Hal ini menunjukkan begitu seksinya posisi instrumen politik partai bagi masa depan demokrasi Indonesia.

Bagaimanapun, partai adalah produk masa pencerahan (renaissance). Meski baru muncul sekitar akhir abad ke-18, lahirnya partai politik adalah anak kandung gerakan ini. Sejak semangat renaissance dipancangkan kuat dalam peradaban kebudayaan, sosial, politik, dan teknologi di Eropa Barat sana, kemenangan akal budi dan eksistensi manusia (antroposentrisme) seolah tak terbantahkan. Perjuangan modernisasi pun dilembagakan dalam instrumen kelembagaan. Dalam wilayah politik, partai menjadi wadah pengorganisasian kepentingan publik dan pemenangan suatu paham politik.

Di zaman kegelapan (Dark Age), segala keputusan politik dan hukum terpusat pada segelintir kekuasaan, seperti dewan agama atau sosok seorang kaisar. Tak ada prosedur demokratis bagi warga negara atau individu dalam mengajukan hak berpendapat. Zaman renaissance melahirkan suatu instrumen politik untuk menjawab dominasi dan penyelewengan kekuasaan dari segelintir elite, bergeser ke publik secara lebih luas.

Gelora Renaissance yang terjadi pada abad ke-17 ini tentu mengandung semangat perjuangan (elan) bagi gerakan pembaruan di dunia. Dalam konteks kehidupan politik, khususnya dalam nafas kehidupan partai, elan Renaissance setidaknya memiliki empat makna penting. Pertama, bagaimana meletakkan partai sebagai bangunan yang didirikan secara sukarela oleh sekelompok manusia. Manifestasi ini biasanya dapat dilihat dalam anggaran dasar (AD) pendirian partai-partai politik. Ini menunjukkan bahwa posisi anggota dalam sebuah partai adalah sebagai pendiri. Logika yang sama juga diterapkan dalam konstitusi pendirian suatu negara, di mana pilar terdepan suatu negara merdeka adalah warga yang berdaulat atas teritorialnya. Oleh karena itu, partai yang tidak meletakkan anggota sebagai “pemilik” dalam kehidupan partainya, sesungguhnya telah mengingkari elan yang pertama ini.


Kedua, pencapaian Renainsance dalam instrumentasi kepartaian adalah kongres. Kongres merupakan ruang demokrasi dan tata laksana hukum tertinggi dalam suatu pelembagaan kepentingan publik. Melalui kongreslah, hal-hal yang prinsipil dibahas secara mendalam dan visoner, yakni bagaimana arah partai ke depan dirumuskan secara mendetail, baik perihal keanggotaan, kaderisasi, pendidikan politik warga negara, serta kepemimpinan. Kongres tidak semata-mata menjadi ajang sirkulasi atau mempertahankan status quo kekuasaan belaka. Bila ini yang terjadi maka yang ada adalah reduksi terhadap posisi kongres itu sendiri sebagai lembaga tertinggi di tubuh partai. Ia akhirnya menjadi sebatas instrumentasi dan rutinitas belaka, bukan representasi kedaulatan anggota.

Bila kita membaca realitas kepartaian di Indonesia sekarang, tak dapat dipungkiri bahwa paradigma antroposentris yang semestinya menempatkan keberadaan warga negara sebagai lokus utama dalam alam demokrasi, ternyata telah tergantikan oleh cara pandang yang sekadar mereduksi secara kuantitatif ke dalam konsep massa-mengambang (floating mass). Akhirnya, kemunculan partai-partai baru sebagai respon keterbukaan politik, sengaja atau tidak, menjadi terbatas pada lompatan kuantitatif semata. Ia belum masuk ke dalam ranah kualitatif, di mana ia mampu mengembalikan warga negara yang selama masa Orde Baru apolitis, menjadi sadar akan hak dan kewajiban untuk menjalankan demokrasi. Saat ini, kecenderungan yang berkembang justru warga negara diposisikan sebatas jumlah angka dan komoditi dalam transaksi kekuasaan.

Di sisi lain, sirkulasi kekuasaan sangat bertumpu pada peran sentral partai (partikrasi). Mekanisme pencalonan pasangan presiden dan wakil presiden serta anggota DPR misalnya, harus melalui prosedur pencalonan oleh partai peserta pemilu. Kini, partai dan atau gabungan partai adalah satu-satunya mekanisme untuk memajukan calon presiden dan wakil presiden, sebagaimana yang tertera dalam UU Pemilihan Presiden No. 42 tahun 2008.

Pengurus Adalah Kekuasaan

Ketiga adalah pemisahan antara kekuasaan negara dan kekuasaan pemerintahan. Realitas ini dapat dianalogkan dengan kekuasaan partai dan kekuasaan pengurus. Dalam posisi ini sering kali terjadi salah tafsir bahkan sesat pikir terhadap kedua wilayah di atas. Yang sering terjadi kekuasaan pengurus, misalnya, adalah juga kekuasaan partai. Hal ini mirip dengan statement Louis XIV di Perancis “Aku adalah Negara” atau raja-raja dahulu, “Aku adalah titisan Dewa di muka bumi”. Padahal keblingeran semacam ini adalah konsep yang dikoreksi secara total oleh gerakan Renaissance.

Keempat adalah pandangan tentang kebajikan (Virtue). Pandangan ini banyak diformulasikan oleh Niccolò Machiavelli dengan kebajikan pemimpin (Virtue of the Prince) dan kebajikan warga negara (Virtue of the Citizen). Machiavelli memandang, negara yang disebutnya republik adalah negara di mana rakyatnya tidak korup, dan oleh sebab itu dapat memerintah dirinya sendiri. Lebih lanjut menurutnya, suara rakyat adalah suara Tuhan (vox populi vox dei). Sehingga pendapat umum lebih berharga daripada pendapat seseorang. Implikasi lebih jauhnya, langkah yang akan di- ambil lebih baik bergantung pada kehendak pendapat umum itu. Dengan kata lain, pengabdian di medan publik mensyarat-kan pelepasan kepentingan-kepentingan pribadi dan golongan.

Kebajikan menjadi ukuran dari kualitas sebuah keputusan politik atau kebijakan publik

Usulan perubahan UU Paket Politik yang sekarang dijadikan program prioritas DPR, bisa menjadi momentum bagi kehidupan partai politik di Indonesia. Setidaknya sebagai bahan perenungan dari semangat Renaissance yang ingin mengembalikan partai sebagai instrumentasi politik modern. Bila kehidupan partai politik sejauh ini mengalami proses birokratisme, kultus hirarki yang tersentral, atau tidak adaptif terhadap situasi lokal dan aspirasi publik yang berkembang, tentu realitas ini adalah suatu dialektika yang secara sadar harus dikoreksi oleh publik. Restorasi kepartaian dalam semangat Renaissance ialah merupakan langkah untuk mamajukan peradapan dalam fase demokrasi yang masih belia ini.

Tulisan pernah dimuat di Suara Pembaruan edisi 14 Juni 2010

**Wakil Sekjen Bidang Perencanaan, Penelitian, dan Pengembangan (Renlitbang) Nasional Demokrat


Tidak ada komentar: